Mid Season… I Will Forget You [2nd Story’s – Late Autumn In October]

Mid Season... I Will Forget You

Berapa minggu dirinya masih terbaring dirumah sakit? Aku bahkan tidak menghitung hari semenjak kejadian itu menimpanya. Dan itu tepat didepan mataku. Hwa Hyeon tertabrak truk yang sedang melintas dengan kecepatan tinggi. Aku yang berlari dibelakangnya karena berusaha mengejar dirinya tidak dapat melakukan sesuatu. Hanya meneriakan namanya. Dan kejadian yang begitu cepat itu membuatku membeku ditempat. Mataku terpejam saat tubuh malang itu terlempar beberapa meter menghempas disisi jalan dengan berlumuran darah.

Kalau saja aku berhasil mengejarnya. Ini semua tidak akan terjadi. Mungkin saat ini aku akan menemaninya duduk menikmati musim gugur dibawah pohon maple dekat danau.

“Kau disini?” Suara serak Ji Hyun membuatku menoleh padanya. Hampir setiap hari aku melihat dia menangis. Dan airmata itu tidak pernah habis. Kyu Hyun selalu menghiburnya dan menenangkan istrinya tersebut kalau sudah tidak dapat mengontrol emosinya. Ji Hyun baru saja dari luar. Mungkin menemui Dokter untuk menanyakan keadaan Hwa Hyeon.

“Aku hanya ingin mengetahui kondisinya. Dan berharap dia terbangun dari diamnya kali ini.” Lebih baik aku melihatnya terdiam dibawah pohon maple daripada terdiam dan terbaring dirumah sakit tanpa mau membuka matanya. Ini lebih memilukan.

“Aku bisa menjaga Hwa Hyeon sendiri. Maksudku, aku tidak melarangmu selalu berkunjung. Hanya saja, aku tidak ingin merepotkanmu, Dong Hae-ssi”, suaranya bergetar. Tidak. Aku merasa ini bukanlah sesuatu yang merepotkan. Hatiku yang memutuskan melakukan ini. Tak ada paksaan dari siapapun. Hwa Hyeon yang membuat diriku tertarik untuk dekat dengannya. Apalagi setelah mengetahui permasalahan lima tahunnya bersama Ki Bum. Ki Bum yang meninggalkannya demi wanita lain. Ki Bum yang telah datang namun tak menepati janjinya. Ki Bum yang sampai hari ini bahkan tak mau menemuinya untuk meminta maaf. Seperti yang Hwa Hyeon bilang terakhir kali. Dia adalah pria brengsek. Benar. Hanya pria brengsek yang melakukan hal itu.

“Apakah Hwa Hyeon akan terdiam seperti ini selama lima tahun?” Ji menggenggam tangan Hwa Hyeon yang terkulai. Mendengar Ji bicara seperti itu aku tersenyum kecut. Bagaimana bisa dia mengatakan hal seperti itu? Aku tahu dia sangat menginginkan sepupunya itu sadar. Tak kembali seperti lima tahun selama ini. Dan atau lima tahun dari sekarang. Aku juga tak menginginkannya.

“Tidak. Dia akan terbangun seperti yang dia bilang saat ingin kembali menjadi Hwa Hyeon yang dulu. Walaupun dia masih tidak yakin dengan itu, tapi aku tahu dihatinya yang terdalam dia sudah kembali. Hanya saja dia masih takut untuk menunjukannya. Dia sangat menyayangimu Ji Hyun-ssi. Aku yakin dia tidak akan meninggalkanmu seperti ini tanpa penjelasan terlebih dahulu. Kau dan Kyu Hyun adalah hal yang dia prioritaskan untuk membuatnya tetap bertahan. Kumohon jangan pernah mengatakan kalau Hwa Hyeon seperti akan menyerah dengan semua ini.” Aku melihat lagi airmata Ji Hyun mengalir. Kuelus punggungnya hanya untuk menyalurkan perasaanku yang ingin menguatkannya.

“Hyeong!” Sebuah suara yang seperti berbisik memanggilku. Jeno menyembulkan kepalanya yang berada dibalik tembok. Lalu dia berjalan menghampiriku.

“Annyeong Ji Hyun Noona.” Sapanya sambil membungkuk. Untuk kali ini dia tahu sopan santun. Tidak mungkin kan dia akan berulah dirumah sakit. Kalau dia sampai melakukan hal itu aku akan memasukannya ke kamar mayat. Lalu menguncinya.

“Yuun Noona tetap cantik meskipun dia tertidur.” Ji menahan tawanya. Kemudian mengangguk setuju. Aku pun mengakui kalau Yuun cantik saat tertidur seperti ini. Tapi lebih cantik lagi saat aku melihatnya ketika dia tak tertidur. Matanya yang besar dengan bulu mata yang indah tak pernah bosan kupandangi saat pertama kali dia berkunjung ke kafeku.

“Yuun Noona apa tidak merindukan pohon maple eoh?” Mataku memanas mendengar kalimat yang ditanyakan Jeno pada sosok yang terbaring tak berdaya dengan beberapa selang yang tertancap dibeberapa bagian tubuhnya. Belum lagi perban yang melilit kepalanya.

“Noona… Kalau kau sudah bangun aku akan mengajakmu ke tempat rahasiaku. Disana lebih indah daripada pohon maple dekat danau. Jadi kalau Noona mau melihat, Noona harus bangun. Aku akan selalu menjenguk Noona sampai Noona bangun. Ya, Noona itu baik, jadi Tuhan pasti akan menyembuhkan Noona.” Perkataan Jeno membuat siapa saja yang mendengarnya tak dapat lagi menahan airmata. Ji sudah menangis lagi. Dan aku pun melakukan hal itu. Tak bisa lagi menyembunyikan kesedihanku saat ini. Inilah pertama kali aku menangisi seseorang yang bahkan bukan bagian dalam kehidupanku. Apakah salah?

::: ::: :::

Tempat ini terlalu sepi. Aku tidak menyukainya. Tak ada seseorang yang bisa aku tanyakan. Dulu mungkin aku menyukai kesendirianku. Tapi saat ini, ingin aku ubah. Aku ingin semua orang berada disisiku.

“Eomma, aku akan dilamar olehnya.” Suara riang seseorang yang tak asing untukku membuatku mencari darimana asal suara itu. Kutelusuri tempat yang tak kuketahui ini untuk menemukan suara orang tadi.

“Apa dia sudah yakin dengan keputusannya?” Suara wanita yang tadi dipanggilnya dengan sebutan Eomma menjawab pertanyaan orang yang mungkin putrinya tersebut.

Suara itu semakin dekat tapi aku tetap tidak dapat menemukannya. Aku seperti orang yang tersesat tapi tidak tahu arah yang harus kutelusuri. Semua hampir sama. Tak ada perbedaan. Tempat ini pun sangat menyilaukan.

“Eomma, dia bilang sangat mencintaiku. Dan dia bilang akulah yang dia butuhkan dalam kehidupannya.” Putrinya seperti memohon agar sang Ibu menerima sesuatu yang sedang diajukan pada anaknya tersebut. Bertunangan.

“Sayang, Eomma tidak melarangmu untuk menerima lamarannya. Hanya saja, bisakah kalian tidak terburu-buru?” Si Ibu seperti khawatir akan keputusan yang dipilih anaknya. Aku semakin ingin melihat sosok kedua orang tersebut. Kenapa cahaya ini terlalu terang. Aku sulit untuk mencari keberadaan mereka.

“Apa ada alasan lain kenapa Eomma terlihat meragukan keseriusannya?” Lagi. Anaknya menekan sang Ibu untuk memberi penjelasan.

“Karena Eomma tidak ingin kau menikah dengannya dan dia bukanlah pria yang baik, Hwa Hyeon-ah.” Langkahku terhenti. Nama itu. Nama yang disebut oleh wanita yang menyandang status sebagai Ibu dari anak perempuan itu adalah namaku. Hwa Hyeon. Dan secara tiba-tiba kepalaku sangat pusing. Suara itu tak terdengar lagi namun sakit yang menyerang kepalaku tidak mau mereda.

“Ayahmu tidak tertolong, Yuun-ah.”

“Jika Ki Bum memunculkan dirinya dihadapanku, aku tidak akan pernah memaafkannya. Dan akan memukuli pria brengsek itu. Meskipun aku akan mendekam dipenjara.”

“Yuun-ah, jangan seperti ini. Kau tidak lihat Ibumu sangat sedih sampai beliau sakit?”

“Kami akan selalu disisimu, Yuun-ah. Mulai saat ini lupakanlah Ki Bum.”

“Kita akan menetap di Mokpo. Kau pasti akan senang tinggal disana.”

“Noona, sedang apa disini sendirian? Kau bisa sakit jika berlama-lama disini. Memangnya tidak takut sendirian didekat danau ini? Nanti kalau ada hantu bagaimana? Aku tidak mau melihat Noona yang cantik diculik hantu danau. Bagaimana kalau aku temani?”

“Kenapa kau tidak menangis! Kenapa kau tidak berteriak?”

“Kalau kau ingin jatuh sakit ya sudah. Aah… Aku salah, lebih tepatnya memang kau sudah sakit. Apa kau mau menambah sakit yang kau alami?”

“… Kalau begitu perkenalkan namaku Yoon Ha Young. Istri dari Kim Ki Bum dan ini anak pertama kami namanya Kim Young Gi.”

“HWA HYEON AWAS!”

“Euuugh… Eo-eom-ma…” Dadaku sesak. Napasku tersengal. Mataku sulit untuk kubuka.

“Noona. Yuun Noona…” Seseorang menggoyang-goyang tubuhku.

“Hwa Hyeon-ah, bangunlah!” Sebuah tangan lain menggenggam tanganku.

“Yuun-ah, kumohon bangunlah. Buka matamu, Yuun.” Ji bantu aku. Kepalaku terlalu sakit. Membuat mataku tak bisa kubuka seperti apa yang kau minta.

“Aku akan memanggil Dokter.” Dan itu suara terakhir yang kudengar. Karena setelah itu aku tidak merasakan apapun.

 

::: ::: :::

“Tenanglah Ji. Dokter bilang Hwa Hyeon baik-baik saja hm.” Kyu Hyun memeluk istrinya. Kembali menenangkan Ji Hyun yang sejak Hwa Hyeon sadar dari koma namun tidak terbangun. Ji Hyun memeluk Kyu Hyun dengan erat. Dia butuh penopang. Ya, Kyu Hyun yang dia butuhkan. Suaminya memang tidak pernah menjauh saat dirinya butuh sesuatu sebagai kekuatannya.

“Hyeong, Yuun Noona tidak apa-apa kan?” Jeno pun menangis. Dong Hae memeluk sepupunya itu. Walaupun terkadang membuat jengkel. Bagaimanapun Dong Hae menyayangi Jeno seperti adiknya. Tidak ada yang boleh menyakiti bocah itu. Jika ada, dia tak akan segan untuk membalasnya.

“Ya, Yuun pasti akan bangun. Bukankah kau yang berjanji padanya untuk mengajak ketempat rahasiamu kalau dia bangun hm?” Dong Hae mengingatkan kembali janji Jeno yang diucapkan bocah itu sebelum Hwa Hyeon bereaksi seperti tadi. Apa dia mendengar rayuan bocah ini. Pikiran konyol Dong Hae tiba-tiba terlintas. Tapi dia berterimakasih pada Jeno. Karena doa bocah itu, Hwa Hyeon menunjukan reaksi setelah koma beberapa minggu.

Mereka berempat sekarang berada diluar ruangan. Berada dikoridor yang sekaligus ruang tunggu. Karena Dokter melarang mereka untuk memasuki ruangan. Demi kenyamanan pasien. Itulah yang didengar mereka saat Dokter meminta mereka untuk keluar ruangan selama sang Dokter memeriksa kondisi Hwa Hyeon.

“Ji-ya, lebih baik kau pulang saja. Aku akan menjaga Hwa Hyeon disini. Kau butuh istirahat, Sayang.” Kyu Hyun memberi perintah pada istrinya tersebut. Lalu dihadiahi gelengan lemah sang istri. Desahan lemah meluncur dari mulutnya. Ji selalu keras kepala jika berhubungan dengan Hwa Hyeon.

“Bisa kupastikan setelah ini kau akan tumbang. Lalu kau mau Hwa Hyeon sedih melihatmu sakit eoh? Aku akan mengantarmu pulang. Jangan membantah. Kau harus istirahat karena selama beberapa minggu kau menghabiskan waktumu dirumah sakit, yang kutahu kau pasti meninggalkan jam makanmu dan lebih memilih menunggui Hwa Hyeon.” Ji Hyun tidak bisa membantah ucapan suaminya. Semua yang dikatakan Kyu Hyun benar. Dia kurang istirahat. Jam makan pun banyak yang dia tunda. Bahkan sampai tidak makan karena dia tidak mau menjauh dari sepupunya itu hanya untuk memastikan kondisinya.

“Lebih baik kalian berdua pulang saja. Kurasa Ji Hyun-ssi juga membutuhkan dirimu, Kyu Hyun-ssi. Biar aku yang menjaga Hwa Hyeon. Jika terjadi sesuatu aku akan menghubungi kalian.” Tawaran Dong Hae diangguki Kyu Hyun. Tapi Ji Hyun masih enggan beranjak dari tempatnya.

“Ji-ya, Dong Hae sudah menawarkan dirinya. Dia juga sudah berjanji akan memberi kabar kalau terjadi sesuatu kan? Lebih baik kita pulang dan kau beristirahat. Kita bisa kembali kesini besok pagi, Sayang.”

“Ne. Kuharap kau tidak meninggalkan Hwa Hyeon sendirian, Dong Hae-ssi.” Bujukan Kyu Hyun berhasil. Istrinya memilih untuk pulang kerumah. Dong Hae menunjukan senyumannya saat mendengar jawaban Ji Hyun. Pasangan suami istri itu pun melangkah menjauhi koridor ruangan kamar rawat Hwa Hyeon.

“Hyeong akan menginap?” Dong Hae berjengit. Dia lupa kalau Jeno masih disini. Lalu haruskah dia meninggalkan Hwa Hyeon untuk mengantar Jeno pulang terlebih dahulu. Tidak mungkin kan? Dia sudah berjanji tidak akan meninggalkan Hwa Hyeon sendirian.

“Err… K-kau…”

“Eih, kenapa kalian diluar? Apa didalam banyak orang yang berkunjung?” Tanpa disadari, Dong Hae menghembuskan napas lega. Dong Hwa datang kesini. Kakaknya seperti penolong yang diharapkannya untuk datang.

“Didalam tidak ada orang. Dokter tidak mengijinkan kami berada disana. Karena tadi Hwa Hyeon hampir sadar dari komanya. Hyeong sedang apa disini?” Tanya Dong Hae pada kakaknya. Karena pasti kakaknya punya alasan kenapa datang kesini.

“Oh, Eomma menyuruhku menjemput kalian. Tapi kurasa kau tidak akan mau pulang kan? Jadi aku akan menjemput Jeno saja.” Dong Hwa sangat memahami kondisi Dong Hae saat ini. Apalagi saat adiknya itu mengatakan kalau didalam ruangan Hwa Hyeon tidak ada yang menjaga. Sudah dipastikan Dong Hae tidak mau meninggalkan rumah sakit ini. Dan lebih memilih menginap untuk menemani gadis yang mungkin disukai oleh adiknya itu.

“Tapi aku juga mau menjaga Yuun Noona, Hyeong…” rengek Jeno. Dong Hwa berkacak pinggang.

“Kau besok harus sekolah, Jeno-ya.” Dong Hwa mengingatkan sepupu kecilnya itu.

“Aku bisa meminta ijin tidak masuk sekolah kan Hyeong.” Jeno mengelak dengan pengajuan syarat yang tidak akan pernah diterima Dong Hwa.

“Ck, sudah ada Dong Hae disini. Jadi kau tak perlu ikut menginap juga. Kau mau dimarahi oleh orangtuamu heh?” Dong Hwa tahu bagaimana perasaan bocah itu pada Hwa Hyeon seperti yang pernah dikatakan padanya. Kalau dia sangat menyayangi gadis itu. Menyayangi sebagai kakak perempuannya. Wajah Jeno cemberut. Dia masih tidak mau meninggalkan Yuun Noona-nya sendirian, ya walaupun disini ada Dong Hae yang memang sudah bersedia menjaga gadis itu.

“Tapi aku takut Dong Hae Hyeong malah menggoda suster disini dan meninggalkan Yuun Noona sendiri.” Seketika aura disekitar kedua pria dewasa itu berubah. Yang satu berpikir untuk tidak berteriak pada bocah dihadapannya, mengingat mereka berada ditempat umum yang dilarang untuk mengeluarkan suara bising yang dapat mengganggu para pasien. Sedangkan pria dewasa satunya lagi menahan untuk tidak tertawa terbahak. Apalagi setelah melihat raut adiknya.

“Ya! Sudah jangan banyak berceloteh lagi. Asal kau tahu suster disini tidak akan tertarik olehnya. Mungkin yang tertarik adalah arwah yang berada dikamar mayat sana kekeke…” Dan Dong Hae memutar bola matanya muak. Ternyata kakaknya sama saja dengan Jeno.

“Dong Hae!” panggil kakaknya dengan suara yang tidak terlalu keras.

“Mwo?” sahutnya singkat.

Lee Dong Hwa memegang kedua bahu adiknya itu. Lalu memperhatikan raut yang tersirat diwajah adik satu-satunya tersebut. “Tepati janjimu.” Hanya dua kata itu yang dikatakan Dong Hwa. Yang membuatnya berpikir keras apa yang dimaksud sang kakak. Seketika dia seperti disentil oleh kedua kata sakral itu. Mengingat kembali apa yang dikatakannya tiga tahun yang lalu.

“Kau darimana?” tanya Dong Hwa pada adiknya yang baru saja memasuki kafe mereka.

“Hanya menikmati udara musim gugur seperti biasa”, sahutnya santai lalu menekan tombol yang ada dikamera miliknya.

“Memotret gadis musim gugurmu lagi?” tanyanya seperti yang sudah diketahuinya.

“Hm”, gumamnya karena lebih memokuskan hasil jepretannya kali ini. Musim gugur ditahun ketiga setelah dua tahun yang lalu dia melihat sesosok gadis yang terduduk dibawah pohon maple.

“Kau mengabaikan gadis lain dan memilih gadis yang tak kau ketahui asal usulnya? Sungguh mengerikan!” sindiran kakaknya tidak digubrisnya. Telinganya sudah kebal dengan segala ocehan sang kakak yang menilai gadis itu. Padahal mereka sama-sama tidak saling mengetahui.

“Jika aku telah mengenalnya. Aku akan menyatakan diriku untuk menemaninya duduk disana. Tidak sendirian seperti tiga tahun ini, selama aku mengamatinya. Lalu menemaninya melewati musim gugur setiap tahun. Dan aku berjanji tidak akan meninggalkannya selangkah pun.” Janjinya penuh kemantapan.

“Kami pulang. Jangan lupa untuk makan.” Suara kakaknya kembali terdengar. Pesan terakhir Kakaknya sebelum benar-benar beranjak bersama Jeno meninggalkannya sendiri.

“Janji itu…” Dong Hae tak melanjutkan perkataannya. Seperti dia sedang makan dan ada batu yang menyangkut ditenggorokannya. Bibirnya kelu. Apalagi saat pandangannya dialihkan kekaca kamar ruangan milik Hwa Hyeon dirawat.

::: ::: :::

Sekujur tubuhku kaku. Hanya tanganku yang masih bisa ku gerakan. Meskipun sedikit harus dipaksa. Kepalaku kembali pusing. Sinar diruangan ini sangat menyilaukan mataku. Ruangan? Aku merasa tak asing dengan bunyi alat yang dulu ku dengar saat Ibuku dirumah sakit. Jadi…aku dirumah sakit?

Kugerakan sedikit badanku untuk merenggangkan otot tubuhku, “Agghhk…” Hanya itu yang kulenguhkan.

“Hwa Hyeon-ah?” Seseorang memanggil namaku. Kutengokan kepalaku ke samping kiri. Dong Hae? Kebisuan kembali menyerangku.

Lelaki berkulit putih bersih itu berjalan menuju ranjangku. Bibir itu seperti yang selalu ditunjukannya setiap kami bertemu. Tersenyum dengan tulus.

“Syukurlah akhirnya kau siuman”, ucapnya seperti ingin menangis. Aku meneguk airliurku mendengar suaranya yang entah hanya perasaanku saja atau tidak, mengharapkanku siuman – seperti yang diucapkannya. Dong Hae menarik kursi yang berada disisi ranjangku. Tangannya dilipat diatas kasur ini.

“Ji Hyun pasti senang melihatmu telah membuka mata.” Dia bicara tapi seperti sebuah lirihan. Mata teduhnya digenangi air. Dia menahan tangis? Setelah itu dia membuang pandangannya. Tangannya tanpa ragu disapukan ke wajahnya. Menghapus sesuatu yang mengalir dipipinya. Ada getaran yang menjalari tubuhku menyaksikan tindakannya tadi.

“Maaf.” Dia mengatakan kata permohonan itu sambil menundukkan kepalanya. Aku tidak tahu dia meminta maaf untuk hal yang mana. Sedangkan orang yang seharusnya minta maaf tidak pernah melakukan seperti yang saat ini dilakukannya. Napasnya yang berderu sampai terdengar ditelingaku.

“Aku tidak akan memaksamu untuk berbicara. Tapi bisakah kau menunjukan reaksi atau ekspresi kalau kau baik-baik saja?” Kepalanya terangkat dan seulas senyumnya menyambutku. Kesunyian menjadi jeda diantara kami. Yang terdengar hanya alat pendeteksi jantung yang berada dekat nakas sebelah kananku.

Haruskah aku melakukan hal yang dimintanya? Sedangkan aku tidak tahu apa yang harus kupilih. Selang oksigen yang menempel dihidungku menambah kesesakan untukku bernapas. Kugigit bibir bawahku menahan ringisan yang menjalari tanganku saat terkepal. Lalu rasa nyeri itu berganti kehangatan. Dong Hae menggenggam tanganku digenggamannya. Dan merenggangkan kepalan jari-jariku.

“Jangan menyiksa dirimu sendiri. Jika kau ingin berbagi sakitmu aku bersedia. Kau bisa meremas tanganku untuk membuang rasa sakitmu. Dan aku akan membalasnya dengan menggenggam erat tanganmu agar kau tidak pernah terlepas dariku.” Aku merutuki tindakanku tadi. Kenapa pria ini terlihat seperti memohon padaku. Memohon sesuatu yang aku sudah putuskan untuk tidak mengalaminya lagi. Tangannya masih menggenggamku. Aku hanya memperhatikan itu tanpa membalas semua pertanyaan yang dilontarkannya. Mataku tak berani menatapnya. Mata miliknya seperti mata panah yang bisa menembus sesuatu yang ku sembunyikan dibelakang mataku.

“Kupikir setelah kejadian ini kau mau membuka suaramu. Hah, sepertinya aku kalah taruhan dari Jeno hahaha…” Tawanya parau. Aku yakin tak pernah ada taruhan seperti itu antara dia dan Jeno.

Suara pintu terbuka membuatnya mengalihkan pandangannya. Kuikuti arah dimana pintu ruangan ini terletak. Tiga orang yang kukenal berjalan lebih mendekat. Raut Ji Hyun bahkan sangat kaget. Aku tahu dia pasti merasa seperti mimpi melihatku yang telah membuka mata. Mata itu mengeluarkan air yang selalu kulihat jika dia mengkhawatirkanku. Kyu Hyun tersenyum melihatku. Dan dia, Ki Bum, tidak menampakan raut apapun. Tangan Dong Hae yang masih menggenggamku terasa mengeras. Ada apa dengannya?

“Maafkan aku Hwa Hyeon-ah disaat kau membuka matamu, aku justru membawa hadiah paling menyeramkan untukmu.” Kyu Hyun memang selalu blak-blakan. Lagi-lagi aku harus merasakan sesak itu.

“Aku ingin bicara dengannya. Bisakah kalian meninggalkan kami berdua saja?” Pintanya dengan suara berat. Benar-benar memohon agar meninggalkan kami berdua. Dan itu seperti ditujukan untuk Dong Hae.

“Jika kau menyebabkan masalah saat kami meninggalkan kalian berdua, aku tak akan pernah melepaskanmu lagi Tuan Kim. Kau tahu ini bukan sebuah gertakan kan?” Ki Bum mengangguk.

“Dong Hae-ssi, kau bisa ikut kami…sebentar?” Aku tahu Ji tidak merasa enak dengan ucapannya tadi. Seperti dia memaksa Dong Hae untuk tidak disini. Dong Hae menghela napasnya. Perlahan dia melepaskan tangannya yang menggenggamku. Perasaan tidak rela, seperti dia sengaja tunjukan padaku. Hatiku meringis kenapa dia bersikap seperti itu.

“Jika terjadi sesuatu… Berteriaklah, Yuun.” Seketika udara disekitarku direbut oleh dirinya. Dong Hae melakukan tindakan yang tak kan pernah kuduga. Bibirnya mengecup pipiku. Walaupun sekilas namun efeknya seperti kau mengalami sengatan listrik. Bisa kupastikan tampang shock Ji Hyun karena tadi aku pun mendengar pekikan yang ditahannya. Dan ujung mataku menangkap mata Kyu Hyun yang juga terkejut. Ki Bum? Aku tidak tahu apa yang diekspresikannya. Dia terlalu kaku untuk berekspresi. Aku bahkan tidak menyadari kalau Dong Hae sudah keluar dari ruangan ini dan menyisakan Ki Bum bersamaku.

“Hwa Hyeon-ah… Mianhata… Lima tahun lalu aku…” Dia menceritakan semuanya. Dan aku enggan untuk mendengarkan.

 

::: ::: :::

“Kau tidak mau menjelaskan pada kami?” Kyu Hyun bertanya dengan suara memaksanya. Ji Hyun juga menatapku penuh harap. Ya, aku sadar tindakanku tadi sangat berefek pada mereka, mungkin juga Hwa Hyeon.

“Kau tahu aku tidak akan pernah melepaskan seseorang begitu saja?” Ancaman yang sama seperti yang dikatakannya pada Ki Bum.

“Huuuh… Aku tahu kalian pasti tidak menyukainya. Tapi kurasa itu sangat membantunya untuk menghadapi pria bermarga Kim itu.” Lalu menyeruput vanilla late yang disuguhkan didepanku.

“Jangan mengganggu Hwa Hyeon. Kau tahu aku sangat trauma dengan kejadian lima tahun ini. Dan aku tidak mau mengalami hal itu lagi. Terutama pada Hwa Hyeon.” Ji Hyun seperti memohon padaku untuk tidak mendekati Hwa Hyeon seperti yang Ki Bum lakukan pada gadis itu.

“Aku juga tidak mau kehidupanku selama lima tahun ini sia-sia. Dan itu karena sepupumu yang bernama Hwa Hyeon.” Baiklah kalau setelah ini mereka menuntut diriku untuk membongkar semuanya akan aku ceritakan.

“Kau menyalahkan seseorang yang bahkan tak mengenalmu sama sekali? Dan apa yang kau maksud tadi?” Kyu Hyun kembali menyerangku dengan pertanyaan bahwa Hwa Hyeon itu tidak melakukan kesalahan apapun padaku.

“Dong Hae-ssi jangan membuatku bingung. Kau tahu selama lima tahun disini Hwa Hyeon tidak mengenal siapapun. Terkecuali Jeno. Dan itupun hanya kenal seperti itu saja.” Ji Hyun mengungkapkan apa yang memang menjadi kenyataannya.

“Kalian salah. Lima tahun lalu aku melihatnya. Namun tidak pernah tahu rupanya seperti apa. Dan Jeno, dia memang orang pertama yang mungkin Hwa Hyeon kenal tapi bocah itu tak pernah memberitahuku tentang mereka. Aku baru mengetahui itu beberapa hari sebelum kalian makan dikafeku untuk pertama kalinya. Itulah kali pertama aku melihat Hwa Hyeon dengan jelas. Wajah yang selalu membuatku penasaran selama lima tahun itu akhirnya nampak dihadapanku.” Ingatanku kembali menerawang. Kuedarkan mataku melihat-lihat Cafetaria rumah sakit ini.

“Jika kau hanya kasihan padanya. Aku memintamu untuk menjauhinya.”

“Dan aku pun akan mengalami hal yang sama seperti yang dialaminya?” Ku kembalikan fokusku pada Kyu Hyun. Keningnya mengerut. Matanya memicing tajam padaku.

“Jangan bicara yang memusingkan. Sebaiknya kau jujur apa yang kau inginkan! Jika kau merasa dirugikan oleh Hwa Hyeon selama lima tahun ini, berapa yang harus kami bayar? Mungkin itu menyebabkan pemasukan kafemu berkurang.” Ucapan tak masuk akal Ji Hyun membuatku tertawa hambar. Mereka sekarang memperhatikanku menunggu tanggapan.

“Berapapun kalian membayarku, aku tidak akan menerimanya.” Kumainkan ujung sedotan yang tidak tenggelam didalam gelas berisi vanilla latte ini. “Kerugian yang aku alami bukan seperti yang kalian pikirkan. Mungkin kalau aku jabarkan, kalian akan menertawaiku atau menganggapku konyol. Tapi itu kenyataannya. Hwa Hyeon seperti membawaku ke dunia yang dia ciptakan sendiri. Menyuruhku untuk memahaminya bahwa dia bukanlah seorang gadis yang seperti kita lihat pada gadis umumnya. Sejak awal yang dia harapkan adalah Ki Bum. Ki Bum yang akan memasuki dunia itu, yang tanpa dia sadari ternyata ada sosok lain tergugah untuk melakukannya huuuh…” Kubuang napasku seperti tawa kosong. Menertawai diriku sendiri. Mereka berdua masih menyimak. Kutundukan kepalaku. Mataku menatap buih air yang melekat pada gelas ini. Teringat akan airmata Hwa Hyeon saat itu.

“K-kau… Me-nyukai Y-yuun?” Tanya Ji gugup. Dipantulan gelas yang sudah setengah kuhabisi isinya terlihat Kyu Hyun membenarkan duduknya. Jari telunjuknya diketukan dimeja ini. Terlihat sekali kalau dia gusar setelah mendengar tebakan Ji Hyun.

Ku tarik napasku, “Ya. Tanpa ada alasan apapun-…”

“Hei pasien itu sangat menakutkan. Kenapa dia berteriak histeris seperti itu?” Kutolehkan kepalaku ke sumber suara.

“Apa yang dilakukan lelaki itu padanya? Bahkan sampai membuatnya menangis seperti itu.”

“Kurasa dia melakukan kesalahan yang memang tak bisa dimaafkan.”

“Kasihan sekali-….”

Tak mau mendengar lebih lanjut apa yang dibincangkan kedua perawat tersebut. Aku langsung bangun dan berlari meninggalkan Ji Hyun serta Kyu Hyun. Mempercepat lariku menuju satu ruangan yang sejak kutinggalkan memang membuatku sangat khawatir. Pikiranku kacau. Berteriak? Histeris? Menangis? Dan aku memaki pihak rumah sakit ini kenapa menempatkan kamar Hwa Hyeon dilantai tiga.

“ARRRGHT BRENGSEK!” Kutambah lagi kecepatan lariku. Berharap Hwa Hyeon tidak melakukan tindakan bodoh pada dirinya sendiri. Dan akan ku hajar pria bermarga Kim itu karena melanggar janjinya.

 

::: ::: :::

“Hwa Hyeon-ah, kumohon jauhkan benda itu.” Permintaan seseorang tidak digubrisnya sama sekali. Hwa Hyeon yang masih terisak-isak itu semakin menekan pecahan kaca tersebut ke pergelangan tangannya, tepat diurat nadi.

“BERHENTI MEMOHON PADAKU KIM KI BUM!” teriak Hwa Hyeon saat Ki Bum baru selangkah untuk mendekati ranjang gadis itu. Bibir Ki Bum bergetar. Dia ingin bicara tapi tak sanggup untuk berucap. Dilihatnya pecahan-pecahan itu berserakan dilantai tepat dia berdiri.

“Itu akan melukaimu, Hyeon-ah!” Nadanya semakin kalut saat melihat Hwa Hyeon semakin meringis akibat tekanan benda tajam itu dipergelangan tangan gadis yang saat ini bersiap untuk menggores tangannya.

“Kau tahu? Aku bahkan sudah terluka. Tapi kenapa kau baru mengatakannya sekarang?” Kali ini Hwa Hyeon tidak berteriak. Melainkan melirih. Suara gadis itu membuat Ki Bum menyalahkan dirinya yang memutuskan untuk mengungkit masalah mereka saat gadis itu baru tersadar dari komanya.

“Aku minta maaf, Hyeon-ah. Kumohon jangan menyakiti dirimu!” Ki Bum semakin frustasi karena gadis itu yang kembali menangis.

“Aku…” ucap Hwa Hyeon tersengal. “Aku… Me-mang sa-kit. Fisikku… Juga batinku… Kau senang kan? HAH?” Kali ini Hwa Hyeon menatap Ki Bum dengan mata yang memang penuh kesakitan. Ki Bum sudah tidak sanggup. Dia ingin berlari tapi itu pilihan paling pengecut yang akan menambah masalah.

“Aku menghubungimu. Kau bahkan tak menanggapinya. Lima tahun. APA KAU MEMANG INGIN MEMBUATKU SAKIT?” Ki Bum menunduk. Dia menyerah. Semua yang dikatakan gadis yang lima tahun lalu akan diikatnya menjadi bagian dalam kehidupannya memang benar.

“Hyeon-…”

BUGH

“Akh!” pekiknya saat tinjuan itu tepat mengenai rahang kanannya ketika sebuah tangan dengan paksa menarik untuk menghadapnya.

Ki Bum terkapar dilantai. Sedangkan sosok yang tadi meninjunya berdiri begitu tegap dengan napas memburu. Tangan sosok yang berdiri dihadapannya masih mengepal.

“Kau…” katanya dengan terengah-engah. “Melanggar janjimu, Tuan Kim!” Dan satu tinjuan kembali menyerang Ki Bum. Yang Ki Bum lakukan hanya pasrah. Dia tahu akan kesalahannya. Karena itu dia tidak melawan.

“KAU JUGA PERGI, LEE DONG HAE!” Jerit Hwa Hyeon menghentikan tangan Dong Hae yang akan menghajar Ki Bum lagi. Lelaki itu kini menghadap Hwa Hyeon.

“Kau lupa apa yang aku katakan padamu, HAH?” Sungguh Dong Hae tidak ingin meneriaki Hwa Hyeon. Tapi karena gadis itulah yang memaksanya untuk melakukan hal sekasar tadi. Yang bahkan tak diinginkannya sama sekali. Hwa Hyeon terdiam. Tangannya masih menekan pecahan kaca itu dilengan kirinya. Tak menghiraukan gelengan kepala Ki Bum yang memintanya untuk tidak melakukan tindakan itu.

Perlahan Dong Hae melangkah mendekati ranjang Hwa Hyeon. Gadis itu tidak bereaksi. Masih tercenung dengan bentakan Dong Hae beberapa menit yang lalu. Hwa Hyeon berjengit saat tangan hangat itu kembali menyentuhnya. Tak dapat menolak saat tangan itu melepaskan pecahan kaca yang digenggamnya.

“Sebelum kau menyakiti dirimu, lebih baik kau menyakitiku, Hwa Hyeon-ah. Kau lupa dengan kalimat itu hm?” Lalu Dong Hae membuang pecahan yang sudah diambil alih olehnya. Didengarnya isakan Hwa Hyeon. Demi apapun dia merasakan seperti terluka lalu ada seseorang yang sengaja menjatuhkan air cuka padanya. Perih. Pedih.

“Hwa Hyeon-ah gwaenchanha?” Ji Hyun yang baru sampai langsung menubruk Dong Hae untuk memeluk Hwa Hyeon.

“Lebih baik kau pergi sebelum aku lepas kendali.” Perintah Kyu Hyun menahan dirinya untuk tidak memukuli Ki Bum yang sudah mendapat luka lebam dari Dong Hae. Ki Bum berangsur bangun lalu pergi begitu saja tanpa pamit pada Kyu Hyun. Dirinya sempat melirik Hwa Hyeon yang masih menangis dipelukan Ji Hyun. Saat itu dia menyadari kalau dirinya memang sangat brengsek. Tak seharusnya berjanji yang bahkan tak pernah dia tepati. Dan membuat gadis itu seperti ini. Terlihat sangat menderita.

“Hwa Hyeon-ah tenanglah. Ada aku disini eoh?” Ji Hyun mengusap-usap punggung Hwa Hyeon yang masih terisak. Bahu Ji Hyun sudah basah dengan airmatanya. Airmata yang ditahan sepupunya itu akhirnya keluar. Menumpahkan apa yang ditahannya selama lima tahun ini. Ji Hyun tak menyalahi Hwa Hyeon. Dia bersyukur karena gadis itu akhirnya mengakhiri apa yang ingin diakhirinya. Meninggalkan Ki Bum. Menghapus kehidupan lima tahunnya yang kelam.

 

::: ::: :::

Setelah sadar dan bangun dari koma dua hari yang lalu aku masih enggan bicara. Masih tersakiti oleh penjelasan Ki Bum.

“Hwa Hyeon-ah… Mianhata… Lima tahun lalu aku meninggalkanmu disaat aku ingin menjadikanmu bagian dalam kehidupanku untuk selamanya. Tapi keadaan yang memaksaku untuk menghentikan itu semua. Kakek menyuruhku untuk menemuinya di California. Dan itu tepat dihari aku akan melangsungkan lamaran kita. Aku sudah meminta untuk menundanya namun beliau tetap memaksaku untuk datang pada hari itu. Itulah kenapa aku menyerahkan sepucuk surat untukmu. Kupikir beliau hanya ingin bertemu saja. Sehingga aku bisa kembali menemuimu. Tapi hal tak terduga membuatku tidak bisa mengelak. Dia sudah menjodohkanku dengan Ha Young. Aku sudah menolaknya namun beliau mengancam kalau aku akan dicoret dari daftar keluarga bersama orangtuaku. Semua saham yang kami miliki akan dialihkan padanya. Aku sudah memikirkan itu semua. Tidak mungkin kalau aku tetap memilihmu dan kehidupan kita kelak tidak bahagia. Dalam artian aku hanya akan menyusahkanmu. Maaf juga aku tak pernah memberitahumu kabarku. Kontakmu dihilangkan. Dan demi apapun aku ingin menghubungimu Hwa Hyeon-ah. Menjelaskan semuanya agar kau berhenti menunggu. Aku benar-benar minta maaf karena menyakitimu selama lima tahun. Maafkan aku, Hwa Hyeon-ah…”

Entah kenapa saat dia mengatakan itu semua aku tidak bisa menahan lagi diriku untuk berontak. Menangis meraung-raung seperti anak kecil yang ditinggal oleh orangtuanya pergi. Tapi hal ini tak aku lakukan saat orangtuaku meninggalkanku. Aku menyesal, tapi aku memang tak mau merasakan kesedihanku ditinggal mereka dan itu hanya akan membebani keluargaku yang lain. Tanpa kusadari airmataku mengaliri pipiku. Membiarkannya mengalir tanpa mau kusapukan. Kupandangi jendela yang berada dikamar ini. Langit yang cerah. Aku ingin merasakan kecerahan dalam kehidupanku lagi.

“DOOOR!”

“OMO!” teriakku kaget saat suara seseorang dekat telingaku sambil mendorong pelan tanganku ketika meneriakan kata itu.

“Waaah Noona bisa kaget juga hahaha…” Jeno tertawa tergelak karena kekagetanku yang dilakukannya. Sungguh aku tidak menyangka bagaimana dia bisa masuk tanpa aku sadari.

“Ini.” Dia menyodorkan sapu tangan. Aku mengernyit. “Hapus airmata Noona, atau mau aku yang hapuskan?” Katanya saat aku masih tidak menyambut sapu tangan itu.

Dia menyapukan kain itu pada wajahku, lebih tepatnya pipiku. “Aku yakin Dong Hae Hyeong kalau melihat ini pasti akan murka. Lalu akan menenggelamkanku didanau yang suka Noona datangi. Tak apa sih, apalagi itu tempat kesukaan Noona. Jadi aku bisa menemani Noona kalau lagi disana.” Bibirnya tertarik membentuk simpul senyuman. Kenapa anak ini bisa bicara seperti itu. Dia begitu perhatian.

“Aku ingin mendengar Noona bicara. Bicara tentangku. Menceritakan semua kesan Noona akan sikapku. Dong Hae Hyeong bilang aku terlalu menyusahkan dan menjengkelkan. Apa benar? Aku mau Noona berpendapat tentangku. Sehingga aku tahu apakah aku seperti yang Dong Hae Hyeong bilang atau tidak.” Wajahnya cemberut. Sungguh aku tidak bisa menahan lagi tawaku. Perasaan menggelitik itu menyerang tubuhku.

“Kekekekeke…” Aku terkikik sambil menutup mulutku dengan tangan.

“Woaaah… Noona tertawa? Kyaaa…” Sorak Jeno sambil bertepuk tangan. Kukendalikan diriku meskipun masih ada sisa tawa yang aku tahan untuk tidak aku keluarkan.

“Wae?” Dia menghentikan aktivitas riuhnya.

“Eum, Noona sangat cantik”, katanya berbisik. Kumiringkan kepalaku. Definisi cantik apa yang dimaksudnya?

“Ya, Noona cantik dari segi apapun. Pantas saja Dong Hae Hyeong memotret Noona. Meskipun yang Hyeong foto bagian belakang Noona.” Dia mengangkat bahu seperti aneh dengan foto yang diambil Dong Hae. Sisi belakangku? Memotretku?

“Noona pasti aneh kan? Aku juga. Saat orang-orang ingin memoto bagian wajah seseorang yang akan difotonya tapi Hyeong hanya memoto bagian belakang Noona. Aku pernah protes dan Hyeong balik membentakku. Dia bilang kita harus melihat sisi belakang seseorang terlebih dahulu sebelum mengetahui apa yang ada didepannya. Aku kira saat melihat foto itu pertama kali hanya kesalahan Dong Hae Hyeong tapi pas aku masuk ke dalam ruangan tempatnya mencetak semua foto hampir sama. Tampak belakang saja. Dong Hae Hyeong juga bilang katanya pasti wanita yang menyembunyikan wajahnya itu sangat cantik sampai dia tidak ingin memperlihatkannya. Dan aku bilang kalau wajahnya buruk bagaimana? Dia bilang tidak ada yang buruk untuk wajah seorang wanita. Bahkan saat mereka tua terlihat semakin cantik, seperti Eomma contohnya. Itu yang Dong Hae Hyeong katakan.” Aku tidak tahu apa yang Jeno maksudkan disini.

“Saat aku buktikan memang benar. Wanita yang difoto Dong Hae Hyeong sangat cantik. Bahkan aku sampai terkagum-kagum. Awalnya aku sempat takut untuk mendekati Noona hehehe…” Kekehnya sambil menggaruk kepala.

“Noona jangan pernah membocorkan ini pada Hyeong ya?” Untuk alasan apa aku membongkar hal ini? Bukankah dia sendiri yang membongkar rahasia Dong Hae tentang… Diriku? Aku mengerjap saat tangan nakal Jeno melambai didepanku.

“Noona jangan diam terus. Kan aku lelah bicara sendiri. Aku juga ingin mendengar cerita Noona. Mungkin Noona bisa membongkar rahasia Paman yang senyumnya seperti Zombie itu.” Siapa yang dia maksud?

“Kyu Hyun?” Ceplosku yang diamininya.

“Oh iya Kyu Hyun. Aku lupa namanya. Kupikir namanya Puyuh, burung puyuh hahaha…” Jeno tergelak lagi. Bisa kubayangkan kalau Kyu Hyun disini. Dia pasti tidak mau diolok seperti itu. Aku tersenyum. Anak ini berhasil membuatku terhibur.

“Ah, aku merasa senang. Noona ingin tahu?” Dia bertanya. Aku angkat bahu terserah.

“Karena hari ini Dong Hae Hyeong tidak bisa mengganggu kita hihihi… Hyeong mendapat tawaran untuk bekerja di Seoul sebagai fotografer. Keinginan Hyeong sepertinya berhasil.” Tanpa sadar aku tersenyum samar. Ada perasaan yang menggerayangiku. Tapi aku tidak tahu harus menyebutnya apa. Jeno memandangku. Apa wajahku aneh?

“Kuharap Hyeong tidak melirik model-model yang berdandan seperti hantu sadako hiiiii…” Jeno bergidik ngeri. Aku tertawa sumbang. Dia selalu bicara tidak sesuai fakta. Mana ada model yang berdandan seperti sadako. Apa mereka sedang mengikuti tema Halloween? Walaupun begitu mereka masih tetap cantik dan menarik kan? Bicara Sadako, aku jadi ingat saat Ji menyindirku mirip hantu Jepang itu karena tidak mau mengikat rambutku yang tergerai.

“Jika nanti ada yang mengatakan Noona mirip sadako, kurasa hanya Noona sadako yang paling cantik.” Jeno mengerlingkan matanya. Belajar dari siapa cara menggodanya seperti itu? Berapa banyak korban yang mendapat gombalan dari bocah ini? Bolehkah aku bilang kalau disekolah sudah dipastikan dirinyalah yang banyak penggemar perempuannya. Sepertinya para siswi disekolah itu juga membuat fanclub khusus untuk anak tampan ini. Aku jadi membayangkan gimana riuhnya jika anak ini baru masuk gerbang sudah mendapat sambutan dari mata para siswi yang berharap padanya. Apa yang aku pikirkan sih? Aku jadi teringat Ji Hyun yang menjadi primadona disekolah kami saat itu.

“Noona…” panggilnya dengan suara yang sangat rendah.

“Y-ya?” sahutku gugup. Kenapa cara dia memandang sama seperti Dong Hae? Membuatku takut untuk berlama-lama menatapnya.

“Hyeong berjanji akan kembali. Jadi Noona jangan takut sendirian lagi karena aku akan menjagamu menggantikan Hyeong.” Sunyi. Yang terdengar hanya bunyi mesin penghangat ruangan ini. Kutundukan kepalaku untuk mengamati ukiran selimut rumah sakit ini yang memang tidak begitu menarik. Haruskah aku mendengar kata ‘Janji’ dan ‘Menunggu’ lagi. Lalu apa yang sebenarnya aku harapkan. Apakah aku benar-benar mengharapkan pria yang selama lima tahun ini selalu bersembunyi dibelakangku? Masihkah aku belum menemukan jawaban untuk masalah ini?

::: ::: :::

Sebenarnya aku masih tidak yakin dengan keputusanku. Meninggalkan Hwa Hyeon yang baru beberapa hari lalu tersadar dari koma. Tapi tawaran ini memang sangat aku impikan sejak dulu. Ini semua karena Jeno yang membocorkan pada Ayah dan Ibu. Mereka berdua setuju. Aku senang karena tak ada penolakan dari mereka. Tapi saat aku meminta saran Dong Hwa Hyeong dia menanyai balik diriku untuk keputusan yang akan kuambil. Terlebih saat sebuah nama yang membuatku tidak bisa menjawab sama sekali. Choi Hwa Hyeon. Padahal Kakakku hanya mengucapkan namanya tanpa embel-embel apapun. Yang berefek cukup membuatku uring-uringan selama semalaman. Dan berakhir dengan keputusan menerima ini. Sebelumnya aku melakukan negosiasi dengan bocah tengil itu yang dengan penuh kegirangan menerima penawaranku untuk menjaga Hwa Hyeon. Tch, bisa-bisanya aku memberi umpan pada musuh.

Saat sedang menikmati kenangan singkatku dengan Hwa Hyeon, seorang model dari Jepang menghampiriku. “Dong Hae-san, apa anda sedang sibuk?” tanyanya. Memang dia tidak melihatku sedang apa? Pura-pura saja dengan pertanyaan yang tidak kreatif itu.

“Ya, tapi tadi. Memangnya ada apa?” Aku balik bertanya. Dia mengambil posisi duduk disebelahku. Ya, karena disini hanya ada satu sofa panjang yang saat ini aku duduki.

Dia terkekeh, “Kenapa anda kaku sekali sih kekeke… Apa karena ini pertama kalinya anda memotret model-model ternama?” Dia itu banyak tanya sekali. Haruskah aku bertemu manusia-manusia bawel selain keluargaku?

“Tidak juga. Aku pernah memotret yang lebih dari seorang model”, kataku sedikit membanggakan diri. Tapi tetap dengan nada malas. Apa dia tidak bisa memahami kondisi seseorang?

“Wow, apa seorang musisi terkenal? Atau Presiden?” Tanyanya antusias, tapi aku tidak seantusias dirinya.

“Hanya gadis biasa namun memiliki daya tarik yang tidak pernah akan kau dapatkan dari yang lainnya. Dan kurasa dirimu juga tidak bisa disetarakan dengannya.” Aku hanya mendengar gumamannya. Dia sudah tidak mengajukan pertanyaan lagi. Tersinggungkah? Memang itu faktanya.

“Dia kekasihmu?” Satu pertanyaan yang memang belum menampakkan kejelasan sampai saat ini antara aku dan… Hwa Hyeon.

“Tidakkah pertanyaanmu seperti ‘Maukah kau menjadi kekasihku?’. Apa aku benar?” Dia menundukan kepalanya. Haaa, ternyata benar apa yang dikatakan para model lain selama ini. Dunia fotografer sangat menguji dirimu dan orang-orang yang kau cintai. Untungnya aku masih ingat ancaman bocah tengil itu. Kalau aku berulah di Seoul maka dia akan senang hati mendampingi Hwa Hyeon sampai umurnya cukup untuk menikahi gadis itu. Jika kalian bertanya aku menyesal. Jawabannya adalah iya. Menyesal kenapa harus bersaing dengan anak bocah. Dan penawaran ini pun sangat tidak diwaktu yang tepat.

“Anda pasti sudah mendengarnya kan dari model yang lain? Maafkan aku karena telah lancang menyukaimu, Dong Hae-san.” Menyukai kan sifat alami seseorang. Dan dia tak harus minta maaf karena ini. Selama dia menyukai dengan taraf yang tidak berlebih aku masih bisa mentoleri. Bagaimanapun aku tidak mau menyakiti perasaan seseorang. Apalagi itu seorang wanita.

“Tidak apa-apa. Kurasa kau hanya merasa nyaman difoto olehku. Tapi kau menganggapnya terlalu jauh. Selama itu tidak merusak masalah hubunganku yang menyangkut kehidupanku. Aku membiarkanmu untuk dekat denganku. Ya, sebagai teman.” Kepalanya terangkat. Kusunggingkan senyumku padanya. Dia pun membalas. Dan mengangguk setuju.

“Arigatou Gozaimasu Dong Hae-san”, ucapnya sambil menunduk beberapa kali.

“Hei Akira-san, sepertinya memang kita harus mengklarifikasi masalah ini. Err, aku tidak suka ditatap horor olehnya.” Kugidikkan daguku ke arah seorang pria yang umurnya lebih tiga tahun diatasku, yang sedang memandang kami dengan tampang ketidaksukaannya terhadapku. Lebih tepatnya dia seperti akan menerorku dengan matanya yang sipit itu. Parahnya lagi, dia adalah atasanku. Good, aku akan dicap sebagai pria perusak. Sungguh aku tidak mau menyandang predikat itu. Aku kan hanya ingin menganggap siapapun yang bekerja disini seperti keluargaku. Tapi, Bosku seperti menganggapku seolah aku penjahat.

“Yesung Sajangnim? Ada apa dengannya?” Akira mengatakan itu dengan berbisik. Aku meringis karena mata itu semakin menatapku tajam.

“Eeuurh… Bisakah kau peka dengan kondisi seseorang?” Dia menggeleng. Aku menghembuskan napas pasrah dengan jawabannya.

“Pantas”, rutukku.

“Eeh?” Ekspresi kagetnya membuatku ingin menariknya lalu menyerahkannya pada Kim Jong Woon. Yesung adalah nama yang digunakannya untuk berbisnis. Memang benar nama Yesung lebih menjual daripada Kim Jong Woon.

“Hei kau tidak sadar kalau Bos kita itu tertarik padamu? Selama kau menjadi model disini kau tidak menyadarinya? Astaga, aku yang baru beberapa hari saja bisa menebak kalau pria itu memiliki ketertarikan padamu. Aku bersumpah dia pasti sangat tidak rela saat ada fotografer yang memegangmu hanya untuk membenarkan posisi pose-mu. Benar kan?”

“Jika benar apa yang Dong Hae-san katakan lalu apa buk-…” Akira terdiam. Dia seperti mengingat sesuatu. Aku mengulum senyum geli.

“Jadi apa ini alasannya memecat fotografer sebelumnya?” Pertanyaannya diperuntukan olehnya. Aku hanya mengangkat bahu tidak tahu. Kan tadi aku hanya menebak-nebak.

“Sudah terbukti kan? Berapa banyak fotografer yang dipecat olehnya setelah sengaja memegangmu karena memang itu suatu tuntutan? Apa aku akan termasuk daftar fotografer yang akan dipecatnya juga setelah dia melihat kita duduk sedekat ini?” Kuperingati dirinya yang duduk memang terlalu dekat denganku. Dia menggigit bibirnya sambil menundukan kepala meminta maaf. Lalu menggeser lumayan jauh dariku.

“Aku juga pernah melakukan hal yang sama seperti Kim Sajangnim. Tapi berbeda cara. Karena orang yang aku sukai selalu diam tak mau berucap. Bahkan aku tak pernah bisa melihat wajahnya yang selalu ditutupi rambutnya yang tergerai. Kim Sajangnim sangat beruntung karena dia selalu bisa melihat semua ekspresimu tapi aku tidak pernah tahu ekspresi dirinya selama lima tah-…” Kuhentikan ucapanku lalu menoleh padanya. “Ah, maaf aku terlalu banyak pikiran sampai bercerita seperti ini hehehe…” kekehku yang dihadiahi senyuman olehnya.

“Gwaenchanha. Apa Dong Hae-san bisa memberiku solusi untuk hal ini… Err, aku tidak mau kalau sampai kau juga dipecat oleh Yesung Sajangnim.” Tangannya meremas dress yang digunakannya saat pemotretan tadi.

“Menurutku lebih baik kau yang mendekatinya. Karena Kim Sajangnim terlihat canggung dan ragu untuk bicara denganmu. Mulailah menyapanya terlebih dahulu. Beri sedikit perhatian padanya, ya seperti kalian makan siang bersama. Itu hal paling wajar untuk merubah sikap canggung menjadi lebih santai. Apa kau juga memiliki sesuatu padanya?” Akira berjengit. Membohongi perasaan sendiri.

“Jadi jawabannya iya kan? Jam makan siang akan tiba. Kau bisa mencobanya. Aku yakin Kim Sajangnim tidak akan menolak ajakanmu dengan percuma. Kalau dia melakukan hal itu, bukankah dia hanya akan membuat peluangnya semakin jauh?”

“Arigatou. Semoga Dong Hae-san juga berhasil mendapatkan gadis itu. Semangat!” Tangannya mengepal memberikanku semangat. Kemudian dia pamit. Mungkin akan memeraktekan apa yang aku sarankan tadi.

“Hwa Hyeon kau sedang apa? Jeno kalau kau melakukan sesuatu berlebihan padanya aku tak akan segan mengirimu ke London. Kembali pada kedua orangtuamu. Ciiih…”

 

 

::: ::: :::

Kota Mokpo memasuki musim dingin. Hamparan putih salju menyamaratakan jalanan setiap kota ini. Atap-atap rumah pun tertimbun bunga-bunga salju.

“Kalau kau tidak menekannya lebih kuat, itu tidak akan membuatnya tipis dan saat dipanggang nanti itu tidak akan menjadi renyah. Sini aku ajari…” Seorang pria berkacamata siap untuk mengajari seseorang yang berada disampingnya. Dia memposisikan tubuhnya untuk berada tepat dibelakang orang tersebut. Lalu tangannya bersiap untuk membantu menekan alat yang dipegang sosok yang memakai apron sama dengannya yang bertuliskan Grill5 Taco.

“YAK DONG HWA HYEONG JANGAN MERAYU YUUN NOONA!!!” Dong Hwa yang baru mau membantu gadis dihadapanya langsung menjauhkan diri. Helaan napasnya kentara kalau dia kaget. Tangannya bahkan sampai mengelus dadanya. Hwa Hyeon sendiri hampir melempar alat penggiling yang dipegangnya. Jeno tidak lihat situasi dan menyalahi situasi.

“Jeno-ya! Kau ingin membuat Hyeong terserang penyakit jantung hah? Hyeong sedang mengajari Noona-mu cara menggiling adonan yang benar. Kau sendiri kenapa pergi? Bukannya kau yang mau mengajari Noona-mu ini membuat makanan-makanan yang ada di kafe ini huh?”

“Heheheh maaf Hyeong…” kekehnya sambil mengatupkan kedua tangannya. Jeno lalu melangkah mendekati meja dimana Dong Hwa dan Hwa Hyeong sedang belajar untuk memasak.

TANG

“AAWW… Sakit Hyeong!” katanya seraya berteriak saat Dong Hwa memukul kepala Jeno dengan sendok adonan yang terbuat dari plastik.

“Ck, kau dan Dong Hae sama saja. Memangnya kau darimana? Meninggalkan Hwa Hyeon sendirian didapur!” Dong Hwa mendelik pada sepupu kecilnya itu. Bukannya menjawab Jeno malah asyik mencomoti beberapa sajian yang ada dimeja. Dong Hwa yang melihat tingkah Jeno hanya menghembuskan napas pasrah.

“Aaah… Aku tadi ditelepon Paman Zombie untuk menyiapkan meja pesanannya. Ck, sepertinya Paman itu mau mengikuti jejakku yang sangat romantis. Apa dia takut kalau Ji Noona berpaling darinya lalu memilihku? Aku jadi bingung Hyeong harus memilih siapa? Menurut Hyeong aku cocok dengan Ji Noona atau Yuun Noona?” tuturnya sambil mengunyah apa yang sejak tadi dimasukan kedalam mulutnya.

“Hei, Ji sangat mencintai Kyu Hyun.”

“Dan Noona belum mencintai siapapun kan?” Jawaban cepat Jeno membuat Hwa Hyeon membungkam. Dong Hwa mengelus punggung gadis itu dengan lembut. Dia tahu Hwa Hyeon sangat trauma dengan hal semacam ini. Jeno juga tidak berpikir dulu sebelum berucap. Membuat Dong Hwa ingin memasuki apapun kemulut bocah itu.

“Hei Lee Jeno, jangan merusak suasana hati.” Jeno yang sadar kalau dia salah berucap langsung menghentikan tangannya yang akan memasukan sepotong keju ke dalam mulutnya. Lalu menatap Hwa Hyeon dengan kikuk.

“N-noona a-aku tidak-…”

Hwa Hyeon yang mendengar suara gugup Jeno menyunggingkan senyumnya, “Gwaenchanha, itu bukan kesalahanmu. Oh, kapan Ji Hyun dan Kyu Hyun akan datang?” Hwa Hyeon mengganti topik agar suasana yang tadi dibuat Jeno tidak diperpanjang.

“Nanti malam. Katanya sekalian menjemput Noona. Padahal aku sudah bersiap mengantar Noona pulang kalau Paman Zombie tidak menjemput”, rutuk Jeno yang membuat Dong Hwa dan Hwa Hyeon tertawa.

“Ya, Lee Jeno! Kau lupa kalau selama ini yang mengantar Hwa Hyeon pulang siapa? Kau kan hanya menjemput dirinya dirumah untuk datang kesini. Sepertinya Kyu Hyun akan menenggelamkanmu didanau kalau dia tahu.” Dong Hwa menyuruh Jeno untuk mengingatnya. Bisa-bisanya anak itu menyalahgunakan apa yang diperbuatnya atau tidak diperbuatnya. Sudah jelas kalau dirinyalah yang mengantar Hwa Hyeon pulang kalau Jeno membawa gadis itu ke kafe mereka.

“Ya! Hyeong! Jangan beritahu. Aku kan lelah jadi selalu ketiduran dan lupa kalau Yuun Noona belum aku antar pulang”, rayunya membela diri.

“Cih, pembual!” umpat Dong Hwa. “Oh, Hwa Hyeon, kakimu sudah lebih baik?” Alih Dong Hwa malas kalau Jeno akan bersuara lagi dengan gayanya yang tengil sama seperti Dong Hae.

“Ah, gwaenchanha Oppa. Semua berkat Jeno karena dia selalu melatihku untuk berjalan. Aku juga beruntung bertemu dengan Jeno karena dia selalu menghiburku.” Jeno yang mendengar penuturan Hwa Hyeong hampir tersedak makanan yang mau dia telan. Matanya berbinar karena inilah kali pertama Hwa Hyeon bicara seperti itu padanya.

“Hm, begitukah? Aku jadi merasa kasihan dengan Dong Hae kekeke…” Dong Hwa terkekeh membayangkan kalau adik kandungnya mendengar hal ini secara langsung. Hwa Hyeon hanya tersenyum samar. Jeno yang melihat itu merasakan hal yang sudah ia duga sejak dulu kalau Yuun Noona-nya itu menyukai Hyeong-nya. Alasan kenapa dia selalu mengajak Hwa Hyeon ke kafe ini, agar Hwa Hyeon tidak selalu merasa asing dengan Hyeong-nya, Dong Hae. Hyeong yang diketahuinya selalu bersungguh-sungguh untuk menjaga Hwa Hyeon yang tak diketahui oleh wanita itu.

“Astaga! Aku lupa sesuatu! Aish, Hyeong aku pergi dulu ya? Bye…” ucapnya sambil berlari. Namun tiba-tiba terhenti, “Oh, Hyeong tolong siapkan tempat buat Paman Zombie itu ya, aku tidak sempat. Karena aku tidak mau dicelotehi olehnya. Oke?” Jeno pun hilang dari hadapan mereka yang bingung dengan tingkah Jeno yang tak terduga.

“Haaa… Anak itu! Hwa Hyeon-ah, mau bantu aku menyiapkan tempat buat mereka? Kau pasti sudah tahu kalau Kyu Hyun tidak akan melepaskan Jeno dengan omelannya kan ? Hahaha…”

“Hahaha… Ye, aku akan bantu Oppa.” Mereka berdua pun melepaskan apron yang melekat sebagai pelindung pakaian mereka agar tidak terkena percikan minyak atau hal yang lain saat memasak didapur.

::: ::: :::

“Haaa… Aku terlambat!”

“Masih bisanya kau bilang seperti itu? Kau mau membuatku mati membeku dihalte heh?” Sungut sosok yang sedang duduk dibangku tunggu.

“Tsk, masih untung aku ingat, Hyeong! Aku tadi sedang kencan dengan Yuun Noo-..”

PLAK

“YAK!”

“Itu hadiah buatmu”, kesal Dong Hae. Dia sudah bisa memastikan kalau Hwa Hyeon terhasut oleh omongan Jeno. Sebulan di Seoul bukannya membuat dirinya bahagia melainkan gelisah. Harusnya dia tidak menitipkan Hwa Hyeon pada Jeno. Hwa Hyeon kan masih mempunyai Ji Hyun dan Kyu Hyun. Tapi dia sendiri terhasut oleh omongan Jeno kalau Hwa Hyeon bisa saja tidak mau bicara lagi karena kejadian dirumah sakit. Dong Hae pun mengiyakan kalau hal itu bisa membuat Hwa Hyeon tidak akan membaik. Dan Jeno dengan mulut manisnya bilang akan membantu Hwa Hyeon dengan mengunjungi Hwa Hyeon setiap hari. Yang pada akhirnya dia tahu dari Kakaknya sendiri kalau Hwa Hyeon selalu dibawa Jeno ke kafe milik mereka. Dong Hae memaki dirinya sendiri karena terlalu bisa dibodohi oleh Jeno.

“Hyeong yang memboncengiku ya?” timpal Jeno yang langsung menyerahkan sepeda pada Dong Hae.

“Haish, kau kesini untuk menjemputku kenapa jadi aku yang memboncengimu hah?” Emosi Dong Hae sudah dipuncak.

“Hyeong kan berat! Tega sekali menyuruh badanku yang kecil memboncengi Hyeong! Kenapa Hyeong tidak naik taksi saja!” Jeno ikutan membentak. Dong Hae melongo. Apa dia tak salah dengar? Siapa yang menerima telepon saat dia menelepon minta jemput? Siapa yang menawarkan diri untuk menjemputnya dihalte? Siapa yang dengan sok baiknya bilang akan datang lebih awal sebelum dirinya sampai?

“KAU AMNESIA HAH?” teriak Dong Hae keras.

“Tadi aku dipukul seseorang jadi mungkin iya”, jawab polos Jeno yang membuat Dong Hae menahan untuk tidak mengikat Jeno dihalte bus. Lalu meninggalkannya dan bilang pada orangtuanya kalau Jeno memutuskan untuk kembali ke London atau dia diculik siluman danau. Dia akan memikirkan alasan lain jika keluarganya tidak percaya.

“Cepat naik! Kalau tidak kau dorong saja dari belakang. Aku malas mengayuh.”

PLAK

“YAK! LEE JENO! BOCAH TENGIL!”

“Sudah cepat Hyeong kayuh. Yuun Noona pasti khawatir aku tinggalkan.”

Ya Tuhan aku dengan sangat memohon, tolong kirim bocah ini kembali ke London. Aku sudah tidak tahan dengan segala tingkahnya yang bisa membuatku mati muda. Bahkan aku belum menikahi Hwa Hyeon.

Dong Hae sengaja mengayuh sepedanya ugal-ugalan. Membuat Jeno dengan lancangnya menjambak rambutnya. Selama perjalanan menuju kafe semua umpatan keluar dari mulut mereka berdua. Sepanjang perjalanan yang dingin terisi oleh panas mereka. Panas dari saling cibir-mencibir dan maki-memaki. Sungguh, kalau ada orang disekitar mungkin mereka akan melempari kedua mahluk itu dengan apapun yang bisa ditimpahi pada mereka. Karena suara mereka seperti para wanita yang ribut saat memperebutkan barang diskon. Membisingkan. Sepinya jalan musim dingin lah yang menyelamatkan mereka tentang perihal seperti itu yang bisa terjadi.

 

::: ::: :::

“Haaa… Aku tak menyangka akhirnya sudah memasuki musim dingin. Woaaah disini sangat indah…” Kekaguman Ji Hyun membuat Kyu Hyun menahan geraman untuk tidak menyindir istrinya yang terlalu berlebihan.

“Ji, kau tidak takut dilahap?” Ji Hyun menengok ke arah Hwa Hyeon.

“Siapa yang mau melahapku? Kurasa manusia salju yang menyeramkan kata orang-orang hanya ada dalam dongeng. Apa kau melihat manusia salju itu? Dimana?” tanya Ji Hyun sambil memutar matanya ke segala arah dan ke jendela luar kafe ini.

“Tch, harusnya aku dirumah saja.” Ji Hyun menatap Kyu Hyun. Hwa Hyeon terkikik melihat itu.

“Wae? Kau marah? Tidak suka? Bukannya kau yang mengajakku kesini? Kenapa jadi kau yang tidak semangat?” Ji Hyun mendumal. Kyu Hyun mengalihkan pandangannya tidak mau menanggapi istrinya yang sedang mengoceh. Mencari sosok yang sedang diintainya namun tidak tampak. Dia sudah menyiapkan segalanya kalau bocah itu nongol. Bagaimana Hwa Hyeon bisa tahan dengan bocah tengil itu? Batinnya meratapi Hwa Hyeon yang selalu tenang jika berhadapan dengan Jeno.

“Aish, kenapa pesanannya tidak datang juga sih! Apa mereka ingin membuat kita kelaparan!” kesal Kyu Hyun.

“Kurasa kau saja yang merasa kelaparan Tuan Cho. Karena hanya kau yang menjerit seperti Nami yang lupa kuberi makan.” Ji Hyun dengan seenaknya menyamai suaminya dengan Nami – anjing yang Kyu Hyun belikan saat ulangtahun pernikahan mereka yang pertama.

“Menyedihkan sekali aku menikah dengan seorang wanita yang menyamaiku dengan binatang peliharaannya.” Cibirannya membuat Hwa Hyeon meringis. Ji Hyun hanya menopang dagu sok mendengar rintihan suaminya yang katanya menyedihkan namun terlihat lucu seperti anak kecil yang sedang merajuk pada ibunya. Apalagi pipi Kyu Hyun yang gembil menambah nilai kalau memang sangat cocok untuk dijahili.

“Owowowo Kyunie jangan merengek sayang, sini sini sini Ji Eomma akan membelikan eskrim cupcupcup… Kyunie mau eskrim apa sayang um?”

“CHO – JI – HYUN!” geram Kyu Hyun menahan amukannya yang sejak tadi dipermainkan sang Istri.

“Hahahaha Yaa! Ji jangan keterlaluan! Astaga kalian bisa hentikan tidak hahahaha…” Hwa Hyeon tertawa lepas. Ji Hyun tersenyum melihat sepupunya yang sudah kembali menjadi Choi Hwa Hyeon yang penuh melodi.

“Setelah lima tahun satu bulan akhirnya aku bisa mendengar tawamu.”

Tawa Hwa Hyeon terhenti seketika saat suara rendah itu terdengar dibelakangnya. Dia tidak berani berbalik kebelakang hanya untuk melihat sosok itu.

“Oh, Dong Hae! Pekerjaanmu sudah selesai?” tanya Ji Hyun senang. Dong Hae mengangguk lalu mendudukan dirinya disamping Hwa Hyeon.

“Kupikir kau memutuskan untuk tinggal di Seoul.” Pertanyaan Kyu Hyun seperti menyindir kalau Dong Hae tidak akan kembali ke Mokpo.

“Aku telah berjanji pada seseorang. Janji kan harus ditepati.” Dong Hae melirik pada Hwa Hyeon sebentar. Tapi sosok itu hanya sibuk dengan sesuatu diluar jendela yang penuh dengan warna putih.

“Oh…” Ji hanya berekspresi dengan dua huruf itu.

“Ternyata Jeno benar-benar menjagamu ya?” Walaupun Dong Hae tahu gadis disebelahnya tak akan menjawab. Setidaknya dia melontarkan pertanyaan yang menyatakan kalau dia sangat mengkhawatirkan sosok yang ditinggalnya itu.

“Bocah tengil itu tak hanya menjaga Hwa Hyeon tapi juga sok menjaga istriku!” sesal Kyu Hyun kalau ternyata selama Jeno bermain ke rumah mereka. Anak itu selalu sok perhatian pada Ji Hyun. Dan Ji Hyun selalu menerima dengan tangan terbuka saat bocah itu datang padanya.

“Ah, baguslah. Setidaknya dia akan memperkecil jarakku dengan…” Dong Hae menggantung kalimatnya. Tak sengaja matanya menangkap tangan Hwa Hyeon yang terlihat gemetar. Karena kedua tangan itu saling bertaut dan meremas. Gugup? Dong Hae tersenyum paham. Tingkah gadis disampingnya terlalu lucu. “…..Kalian”, lanjutnya tapi kepalanya terarah pada Hwa Hyeon yang masih enggan menghadap padanya.

Semakin kau enggan melihatku. Semakin kau menginginkan untuk memandangku. Menjauhiku adalah hal yang membuatmu hanya akan selalu berada didekatku. Seperti saat ini. Hwa Hyeon.

“Yuun! Kau tidak menyapa Dong Hae?” Entah sengaja atau tidak Ji Hyun bersuara seperti itu. Hwa Hyeon berjengit. Mengarahkan matanya pada Ji Hyun. Ji Hyun menggedikan dagunya ke arah Dong Hae yang berada disampingnya.

“An-nyeong ha-seyo, Dong Hae-ssi”, sambutnya dengan gugup. Hwa Hyeon menunduk. Iseng Dong Hae merendahkan kepalanya dan mengarah pada Hwa Hyeon. Dia cukup senang karena gadis itu sudah mengikat rambutnya. Bisa dilihat rona wajahnya juga yang selama ini tertutupi. Apakah hanya dikhususkan untuknya? Itulah yang selalu dibayangkannya setelah mengetahui Hwa Hyeon.

“Kau tidak perlu bersikap formal padaku. Anggap saja kita sudah kenal lama.”

“Ck, memang tak harus bersikap formal dengan orang sepertimu!” hardik Kyu Hyun. Ji Hyun melotot pada suaminya agar menjaga kesantunan tapi Kyu Hyun melengos begitu saja dan memilih melihat suasana diluar jendela. Kyu Hyun sempat mendengar hembusan napas Ji Hyun yang mendesah karena sikapnya. Tak peduli.

“Hei Dong Hae, kau sangat mengagumi wajah Hwa Hyeon eoh? Dia bisa meleleh kalau terus ditatap seperti itu!” Dari suaranya Ji Hyun iri kenapa dia tidak pernah mendapat perlakuan seperti itu sejak Kyu Hyun menikahinya.

“Memangnya sepupumu itu es atau lilih heh?” cibir Kyu Hyun.

Ji Hyun yang mendengarnya sangat kesal. Tanpa rasa iba dia memutar jari jemarinya pada pinggang Kyu Hyun.

“Yak! Yak! Jiii! Aish, sakit! Oke aku minta maaf. Awwh…” Kyu Hyun mengusap pinggangnya yang dipelintir oleh Ji Hyun. Bibirnya menggerutu.

“NOONA!”

“Bagus dia akhirnya datang juga menyerahkan diri!” Kyu Hyun tiba-tiba bersemangat. Duduknya yang tadi tak gairah kini santai dengan menatap satu makhluk yang siap dilahapnya. Ji Hyun sampai bergidik. Suaminya selalu mempunyai aura menyeramkan saat ada Jeno.

Beda dengan Dong Hae yang mendesah karena harus diganggu oleh bocah tengil itu.

“Ji Noona ini menu terbaru dari kafe kami. Karena Noona pelanggan tetap disini dan pelanggan paling cantik jadi ini semua gratis. Noona harus mencobanya.” Jeno menyodorkan makanan yang dibawanya pada Ji Hyun. Ji Hyun memandangi makanan itu dengan bahagia. Sedangkan Kyu Hyun hampir melampar kursi sebelahnya pada bocah itu.

“Hei Jeno, apa ini semua untukku? Woaaah, aku pasti habiskan. Tapi apa memang gratis?” Ji Hyun ragu. Dia menoleh pada Kyu Hyun yang saat ini menatap Jeno penuh amarah. Ji Hyun mengangkat sebelah alisnya aneh.

“LEE! JE! NO! KAU INGIN MATI HAH!” Kyu Hyun langsung bangun dari duduknya dan mengejar bocah itu dengan membabi buta. Ketiga orang yang masih duduk ditempat mereka melongo dengan kejadian yang sedang mereka saksikan. Ji tak mau ikut campur jadi dia menikmati hidangan yang disediakan secara cuma-cuma. Hwa Hyeon yang masih menikmati kejar mengejar Jeno dan Kyu Hyun tersentak saat mata Dong Hae menggantikan pemandangannya. Mata yang teduh itu tersenyum sangat hangat dimusim dingin ini. Begitupula dimusim gugur saat dia melihatnya. Apakah dimusim yang lain dia akan melihatnya juga? Hwa Hyeon langsung mengalihkan matanya dan mengambil sandwich yang berada dimeja. Tapi sebuah tangan menghalanginya.

“Eh?” kaget Hwa Hyeon.

“Kau tidak lihat didalamnya ada keju?” Hwa Hyeon dan Ji Hyun memandang sandwich yang masih dipegang tangan gadis itu. Sejenak Ji Hyun tergelitik melihat pemandangan didepannya mengabaikan suaminya yang masih senang berkejaran dengan Jeno.

“O-oh?” Hwa Hyeon melirik Ji Hyun namun diabaikan. Dong Hae mengambil alih sandwich tersebut lalu membedah isinya. Menyingkirkan keju bentuk persegi itu dipiring. Lalu mengembalikan bentuk sandwich semula tanpa keju.

“Buka mulutmu!” perintahnya dengan nada membujuk. Hwa Hyeon gelagapan. Ji Hyun memang tak mau menolongnya. Wanita itu hanya fokus dengan gadget ditangannya. Tanpa menoleh sedikitpun padanya.

“Aku menyuruhmu untuk membuka mulut, Yuun!” Hwa Hyeon menelan ludahnya gugup. Matanya berkeliaran mencari arah. Tidak mau melihat Dong Hae.

“Sepertinya tanganku akan masuk museum kalau seperti ini. Ji! Kau bisa mendaftarkan diriku ke Museum Mokpo sebagai pemegang sandwich terlama tanpa ada yang mau memakannya.” Lelucon Dong Hae memang tidak lucu. Dia hanya ingin membuat Hwa Hyeon meresponnya. Itu saja. Sebulan menjauh dari gadis itu, dia tetap tidak berubah pada Dong Hae.

“Hei Hwa Hyeon! Kau bisa dituntut oleh keluarga Dong Hae kalau-…”

“Araseo! Aku akan memakannya!” sahutnya cepat lalu saat tangannya mau memegang sandwich itu untuk dipindahkan pada tangannya justru dijauhi Dong Hae. Tepat saat itu mereka saling bertatapan. Cukup lama. Tanpa mereka sadari Ji Hyun sudah mengendap-endap pergi. Membiarkan kedua orang itu untuk saling terbuka.

“Hal apa yang tak akan pernah kau tolak dari perbuatanku, Yuun?” Hwa Hyeon belum menemukan jawaban untuk itu. Bibirnya kelu kalau Dong Hae mengajaknya berbicara.

“Sepertinya kau memang selalu menolak apapun yang aku lakukan. Kecuali… Jeno?” Dong Hae tersenyum getir. Lima tahun usahanya dikalahkan oleh anak bocah yang hanya muncul dihadapan wanita ini beberapa kali. Ditambah sebulan kemarin. Tak pernah dia duga kalau mencintai seseorang sejak lama hasil untuk mendapatkannya selalu tidak akurat. Apa dia yang salah perhitungan?

“A-aku p-per…misi…” Hwa Hyeon langsung melangkah tanpa menoleh pada Dong Hae. Dong Hae mengikuti kemana tubuh itu melangkah. Pintu. Dong Hae langsung berlari mengejar Hwa Hyeon. Dia masih menyimpan baik memori saat gadis itu keluar pintu. Dan berakhir dirumah sakit. Dan tak mau dia melihat hal itu untuk kedua kalinya.

“Yuun! Tunggu!” Panggil Dong Hae sambil berlari mengejar gadis itu yang berjalan cukup cepat. Malam hari yang dingin tak membuat Hwa Hyeon merasa tertusuk angin musim dingin. Apa gadis itu gila? Jerit batin Dong Hae.

“HWA HYEON BERHENTI!” teriaknya penuh perintah dan penekanan. Napas Dong Hae tersengal. Hwa Hyeon berhenti setelah mendengar perintah itu. Perintah dengan nada yang sama saat suara itu berteriak padanya sebelum tertabrak truk hari itu. Intonasi yang tak akan pernah dia lupakan.

“Kau ingin mati kedinginan huh? Dengan kaos setipis ini kau berjalan dimalam hari musim dingin? Kau mau sakit hah?” Dong Hae langsung membawa tubuh itu kedalam pelukannya. Membagi mantelnya dengan gadis itu. Saat itu dia bisa merasakan debaran jantung Hwa Hyeon. Debaran yang sama dengan yang dirasakannya. Mungkinkah? Atau itu hanya kesimpulan yang hanya dia saja menganggapnya seperti itu?

Hwa Hyeon masih diam. Berada sedekat ini dengan lelaki itu membuatnya tidak berkutik. Hangat. Selain tangan Dong Hae yang hangat ternyata tubuhnya juga hangat. Ataukah selama ini dirinyalah yang terlalu dingin? Hwa Hyeon bergetar. Matanya memanas.

“Aku tidak mau kau sakit, Yuun.” Setelah terdiam beberapa saat suara Dong Hae terdengar ditelinga Hwa Hyeon. Udara dari napas Dong Hae menyapu lehernya. Hwa Hyeon merasa dirinya seperti anak yang tersesat. Linglung. Tidak tahu arah mana yang harus dipilih.

“Cukup hanya lima tahun. Aku tidak mau melihatmu lima tahun lagi seperti ini.” Suara Dong Hae bergetar. Tangannya begitu erat memeluk Hwa Hyeon. Menyalurkan rasa hangat yang dimilikinya untuk menghangatkan Hwa Hyeon yang dingin baginya.

“Mianhae….” Satu kata itu membuat Dong Hae tak ingin melepas gadis itu. Terlebih saat tangan itu mengerat dipunggungnya. Mencengkram baju yang dikenakannya. Dong Hae tahu apa yang dirasakan gadis itu. Kata maaf itu bukan untuknya. Kata maaf itu ditunjukan gadis itu pada dirinya sendiri yang memang bersalah. Dong Hae mengelus punggung Hwa Hyeon dengan penuh kasih. Menenangkan gadis itu yang sedikit terisak.

“Jangan menutupinya sendiri karena aku akan membantumu menutupi tangismu jika orang lain memaksa untuk melihatnya. Karena aku tak ingin orang lain mengejekmu hm?” Hwa Hyeon mengangguk.

“Gomawo…” ucapnya disela isakan.

::: ::: :::

“Kapan aku mendapatkan pelukan seperti itu?” lirih Ji Hyun yang sedang menyaksikan Hwa Hyeon dan Dong Hae berpelukan diluar sana.

GREEEP

“Oh?”

“Aku mendengarnya. Jadi tak perlu cemburu dengan mereka”, bisik Kyu Hyun tepat ditelinga istrinya.

“Aku tidak cemburu. Kurasa kaulah yang cemburu?” bohong Ji Hyun. Kyu Hyun menyeringai mendengar jawaban Ji Hyun.

“Oh ya?” seraya melepaskan pelukannya.

Ji Hyun berbalik menghadap Kyu Hyun. “Kenapa kau selalu tersinggung sih?” sungut Ji Hyun sambil menggembungkan pipinya.

“Lalu kenapa kau selalu merajuk?” tanya Kyu Hyun. Kedua tangannya diselipkan kedalam saku mantelnya.

“Semua wanita juga selalu seperti itu. Kami butuh perhatian!” jawabnya mantap. Kyu Hyun mengangkat sebelah alisnya. Jari tangan kanannya menggaruk pelipisnya pelan.

“Itu terdengar kalau kau memintaku untuk memperhatikanmu kan?” goda Kyu Hyun. Ji Hyun mendesis, “Shhs, Hwa Hyeon tidak memintanya tapi Dong Hae memberikannya secara percuma.” Ji Hyun menunjukan ibu jarinya kebelakang.

“Karena Hwa Hyeon memintanya dengan cara berbeda. Dia meminta secara tersembunyi, sedangkan dirimu terang-terangan.” Kyu Hyun menahan untuk tidak tertawa. Istrinya memang terlihat sekali kalau cemburu.

“Lalu kau juga akan iri akan hal itu kan?” tunjuk Kyu Hyun kebelakang Ji Hyun.

“Omo! Hwa Hyeon…” baru dia akan melangkah, Kyu Hyun mencegahnya. Menahan tangan Ji Hyun untuk tidak mengganggu Dong Hae dan Hwa Hyeong yang sedang berciuman dibawah hujan salju malam ini.

“Kyu!” bentaknya.

“Wae? Kau mau juga kan?” Kyu Hyun menggoda istrinya lagi.

“Aniya! Bagaimanapun Hwa Hyeon tidak boleh melakukan hal itu didepan umum!” rengek Ji Hyun meminta belas kasihan Kyu Hyun untuk melepaskannya. Kyu Hyun menggeleng. Ji Hyun mendesah.

“Aku tahu kau iri kan?”

“Tidak!”

“Mengaku saja!” paksa Kyu Hyun.

“Ck, aku tidak cemburu! Bukannya kau yang selalu cemburu!” Ji Hyun menyerang balik Kyu Hyun.

“Ya. Tapi kali ini kau yang cemburu kan?” Kyu Hyun mengerlingkan matanya.

“Aish, K-…euumm.” Ji Hyun tidak bisa bersuara. Bibirnya terkunci oleh bibir Kyu Hyun. Tapi dia menyukainya. Sungguh, dia tidak cemburu pada Hwa Hyeon dan Dong Hae yang berciuman diluar sana.

“Euum…Hh…Jhiii… Wwho Aai Niii…” ucapan cinta itu tak terdengar jelas. Tapi Ji Hyun sangat bahagia karena suaminya kembali mengatakan kalimat itu. Kyu Hyun melepaskan ciumannya. Mata elangnya menatap tajam mata Ji Hyun yang seperti kacang almond.

“Mulai saat ini tak akan ada yang mengganggu kita lagi kan?” pertanyaan Kyu Hyun membuat Ji Hyun mengernyit.

“Haah, kurasa kita harus melanjutkan rencana yang tertunda kan?” Kyu Hyun tersenyum manis tapi Ji Hyun melihatnya sangat mengerikan.

“Rencana?” cicitnya masih terdengar Kyu Hyun. “Memangnya kita punya rencana apalagi? Kurasa rencana kita kan hanya pindah ke Mokpo. Apa adalagi selain hal itu?” Ji menatap Kyu Hyun.

“Ck, Kita punya rencana yang harusnya kita lakukan sejak dulu is-tri-ku sa-yang…” eja Kyu Hyun sebagai penekanan kalau rencana itu sangat penting.

“Aku memang tidak tahu karena kau tidak pernah memberitahunya”, sahut Ji Hyun santai. Kyu Hyun lebih mendekat pada istrinya. Lalu memiringkan kepalanya untuk berbisik ditelinga istrinya itu.

“Akan lebih baik kalau rumah kita terisi satu atau dua orang lagi kan?” Kyu Hyun tersenyum puas setelah mengatakannya. Dia tanpa melihat ekspresi Ji Hyun tahu apa reaksi wanita tersebut.

“A-anak?” Kyu Hyun mengangguk serius.

“Kalau malam ini kau siap?”

“M-mwo?” Kyu Hyun langsung menarik Ji Hyun pergi dari tempat itu. Tak ada teriakan penolakan dari istrinya yang berarti itu adalah suatu persetujuan dalam kamus Cho Kyu Hyun.

Tinggalkan komentar