Late Autumn In October

Kembali kulihat sosoknya duduk dibangku yang dipayungi pohon maple. Ini sudah tahun kelima dan dia selalu berada disana tepat dibulan yang sama. Siapa yang ditunggunya? Kujelaskan disini aku bukan memata-matainya apalagi mengintainya seperti penjahat. Rumahku didaerah sini dan setiap hari aku selalu melawati taman dekat danau itu. Wajar kan kalau aku selalu menemukan sosoknya dibangku sana? Pernah aku berniat untuk menghampirinya namun perasaan raguku lebih besar. Terlintas pula pemikiran konyol kalau dia adalah hantu. Ya, karena dia hanya muncul diwaktu seperti saat ini. Aku bahkan tak pernah melihat wajahnya seperti apa. Yang kutahu dia adalah anak perempuan. Itu saja.

“Lee Dong Hae!! Hyeong sudah meneriakimu sejak tadi! Kau sedang apa sih?” Dong Hwa Hyeong berteriak disampingku. Seketika telingaku berdengung. Tsk, mengganggu saja. Apa dia sengaja? Sudah berada disampingku masih saja berteriak.

“Jangan bilang kau mengincar gadis disana”, tunjuk Dong Hwa Hyeong dimana sosok itu masih berdiam diri dibawah rimbunnya pohon maple.

“Jangan sok tahu!” sangkalku.

“Memang tahu!” sahutnya.

“Apa dia yang kau maksud selama lima tahun ini?” selidik Kakakku.

“Bukan!” jawabku malas. Lalu ditanggapinya dengan gumaman.

“Kau pasti belum pernah melihat wajahnya kan?” pancingnya tapi tak kusahuti. Lalu mengayuh kembali sepedaku meninggalkannya sendirian ditempatku berhenti tadi.

Aku bukan hanya ingin melihat wajahnya. Melainkan ingin menanyakan padanya kenapa selalu berada disana, diwaktu yang tak pernah berbeda seperti sebelumnya. Sepertinya aku akan sangat penasaran jika tak mendapatkan jawaban. Bukan berarti aku ingin tahu urusan orang lain. Terlihat aneh kan jika kau melihat orang ditempat yang sama hanya diwaktu tertentu? Sama halnya seperti saat kau melihat seseorang yang mengendap-endap ditempat yang sudah ditargetkannya dan ternyata seorang maling. Aku tidak menuduhnya seburuk itu. Sungguh.

::: ::: :::

“Bibi kau melihat Yuun? Dia tidak ada dikamarnya. Aku khawatir dia pergi jauh ke tempat yang tak diketahuinya.” Kecemasan dari suara wanita berumur duapuluh tiga tahun itu sangat jelas. Tangannya memegangi kepalanya diikuti desisan cemas dari mulutnya.

“Tidak Nona, tadi saya melihat Nona Yuun ditaman belakang. Apa Nona sudah mengeceknya?” sang Bibi memberitahu gadis yang menjadi majikannya tersebut. Kepalanya menggeleng dan sudah dipastikan orang yang dicarinya tak ada disana.

“Aku baru dari sana dan dia tidak ada. Aku takut…” katanya dengan nada risau.

“Bibi akan bantu cari diluar. Siapa tahu Nona Yuun hanya berjalan disekitar komplek ini”, tawar sang Bibi yang merupakan pelayan dirumahnya.

“Baiklah. Aku akan meminta bantuan Kyu Hyun untuk menemaniku mencari Yuun ditempat-tempat umum. Kalau Bibi sudah menemukan Yuun kabari aku agar aku segera pulang.” Perintah gadis itu. Wanita paruh baya itu menganggukan kepalanya mengerti.

“Ne, Nona Hyun”, jawabnya patuh. Lalu gadis itu pun segera bergegas keluar rumah. Tangannya sibuk menekan-nekan handphone-nya mencari nama yang tadi disebutnya.

“Kyu! Yuun menghilang. Bantu aku mencarinya”, ucapnya langsung saat handphone yang ditempelkan ke telinganya terdengar suara yang sudah dihapalnya.

::: ::: :::

“Ini sudah berapa tahun? Pohon maple sudah kembali berwarna kemerahan dan kecoklatan. Adapula yang berwarna kuning sampai keemasan. Kenapa tidak datang juga? Apa kau lupa? Bukankah kau bilang kita saling membutuhkan? Tapi sampai saat ini kau tetap tidak menampakkan diri. Sejahat itukah dirimu?” Mataku sudah memanas. Dadaku sesak. Bibirku bergetar menahan luapan emosi yang kembali kurasakan. Itu adalah karena dirinya.

“Ketika semua orang mengkhawatirkan diriku, apakah kau juga? Seperti aku yang mengkhawatirkanmu.” Tiba-tiba angin musim gugur berhembus membuat beberapa daun maple yang berguguran ditanah mengikuti arah angin yang bertiup. Hawa dingin menyergapku. Kurapatkan mantel dan melilitkan syal yang tadi tersibak angin. Aku ingin menangis tapi airmata ini hanya berhenti dipelupuk mataku. Tak berani keluar mengaliri pipiku.

“Kau tidak tahu kan aku sakit disini? Sakit yang tak pernah ada obatnya. Aku selalu menghubungimu namun tak ada tanggapan. Hanya untuk mengetahui kabarmu sesulit itukah? Tolong beritahu aku…”

Aku sudah tak sanggup lagi berkata. Apa yang aku ucapkan sejak tadi tak berguna. Angin pun hanya berlalu saja. Mungkin menganggapku tak penting. “Apakah kau juga menganggapku seperti itu? Tidak penting untukmu.”

Daun mapel berjatuhan lagi seperti hujan. Kurasakan selembar daun maple mendarat diatas kepalaku. Teringat dirinya yang akan mengambilnya lalu memperlihatkannya didepan mataku. Tersenyum padaku dan tangannya merapikan rambutku yang mungkin sedikit berantakan karena tindakannya. Hanya saja kali ini aku hanya diam membiarkan daun maple itu tetap berada diatas kepalaku. Membiarkannya agar terjatuh sendiri. seperti diriku yang jatuh sendiri tanpa ada yang mengulurkan tangannya untuk mengajakku bangkit atau menopangku kembali.

::: ::: :::

“Apa aku menyapanya saja ya? Haish kenapa rasa penasaranku besar sekali sih arrrgh…” Kuacak-acak rambutku gusar.

“Hyeong seperti orang frustasi hahaha, apa Hyeong ditolak gadis yang Hyeong suka ya? Kekeke…” Sialan.

“Diam kau! Aku tidak pernah ditolak gadis manapun ya. Ingat itu!” kataku protes terhadap ucapannya tadi.

“Lalu kenapa seperti orang yang habis ditolak cintanya?” Bocah limabelas tahun yang bersandar didinding dekat pintu kamarku itu sok tahu sekali. Bergaya layaknya orang yang paling tahu apapun.

“Yak Lee Jeno! Kau itu masih kecil jadi tak usah ikut campur urusan orang dewasa. Kerjakan saja tugas sekolahmu sana”, usirku agar dia tak semakin berbicara lebih panjang berdasarkan pemikiran bocah Junior High School.

“Ck, siapa tahu aku bisa membantu Hyeong. Aku kan bisa diandalkan tidak seperti Dong Hwa Hyeong”, katanya bangga sambil membusungkan dadanya dan menepuk-nepuknya. Itu lebih terlihat tengil.

Tunggu. Dia bilang mau membantu kan. Ah, benar juga siapa tahu Jeno mau kusuruh menemui gadis itu. Setidaknya gadis itu tak curiga nantinya kan? Apalagi Jeno masih anak sekolah. Pasti gadis itu akan berbicara banyak pada Jeno. Benar. Pakai cara ini kurasa tak akan berdampak kalau nantinya dia malah menuduhku penguntit.

“Oke saat ini Hyeong butuh bantuanmu Jeno-ya. Tapi kau benar-benar akan membantuku kan kalau sudah kuceritakan?” Sebelum dia menyetujui lebih baik aku meyakinkannya terlebih dulu. Jangan sampai dia berdalih tidak jadi membantu. Anak ini pintar sekali mengelaknya. Aku harus memastikan kata-katanya dulu.

“Setuju. Tapi kalau berhubungan dengan polisi nantinya aku tidak mau bertanggung jawab!” Jawabnya sok bijak.

“Yak! Kau pikir aku menyuruhmu membunuh orang atau merampok?”

“Siapa tahu Hyeong punya niatan seperti itu kan? Hyeong kan wajahnya menipu.” Dengan santainya dia berucap seperti itu? Sepupu macam ini yang aku punya? Astaga. Apa yang diajarakan Paman dan Bibi padanya?

“Cih, kau pikir wajahmu juga tidak menipu hah?” sungutku kesal. “Jadi mau membantuku atau tidak?” lanjutku yang dianggukinya.

“Memang apa yang harus aku kerjakan?” Dia berjalan menghampiriku yang sedang duduk diatas ranjang.

“Besok akan kuberitahu. Kau besok sekolah kan? Aku akan mengantarmu dan menjemputmu gimana?” tawarku yang membuatnya mengernyit. Oke, ini memang aneh karena sejak awal aku selalu menolaknya untuk mengantar dan menjemput ke sekolah. Selama ini yang melakukan tugas itu adalah Dong Hwa Hyeong. Dan yang kulakukan adalah membantu dikafe kecil milik kami bersama Ibuku. Tapi terkadang Ayahku juga akan membantu kalau sedang tidak bekerja atau pulang lebih awal.

“Oke aku setuju.” Suaranya lantang.

::: ::: :::

“Kyu kita harus mencari Yuun kemana lagi?” Sungguh aku semakin gelisah. Apalagi mengetahui kondisi dirinya yang saat ini seperti apa. Aku terlalu takut membayangkan hal-hal buruk itu terjadi. Bagaimana pun Yuun menjadi tanggung jawabku untuk menjaganya. Kedua orangtuanya telah meninggal. Dia adalah anak dari adik ibuku. Kyu Hyun menarikku ke dalam pelukannya. Tangannya mengelus punggungku perlahan. Mencoba menenangkanku yang sejak tadi kalut karena tak menemukan Yuun.

“Tenanglah Ji. Aku yakin Hwa Hyeon tidak akan melakukan tindakan bodoh. Kita sudah sama-sama mengenalnya sejak pertama aku kenal denganmu kan? Dan lagi kau adalah sepupunya yang lebih mengetahui apapun tentangnya daripada diriku. Dia pasti akan pulang, percayalah hm?” Memang benar apa yang dikatakan Kyu Hyun tapi tetap saja rasa khawatirku semakin meningkat.

“Eoh?” suara kaget Kyu Hyun membuatku menoleh kebelakang. Kudapati sosok Hwa Hyeon berjalan pelan dengan raut datar seperti kesehariannya selama ini. Aku langsung berlari menghampirinya dan memeluk dirinya. Dia hanya terdiam. Aku dapat memahaminya.

“Kau darimana hm?” tanyaku dengan suara bergetar. Dirinya seperti biasa, membisu. Tak masalah dia tak menjawab pertanyaanku. Asalkan dia dalam keadaan baik-baik saja aku sudah bersyukur.

“Kalau mau pergi keluar beritahu aku hm? Aku takut terjadi sesuatu diluar sana terhadapmu, Yuun.” Aku sudah tidak kuat menahan airmataku. Kekhawatiranku memang sudah menguap namun kediamannya yang tak menjawab segala pertanyaan yang diajukan itulah yang membuatku sedih dan selalu khawatir.

“Hwa Hyeon-ah, dengarkan aku. Kalau kamu mau pergi keluar beritahu kami ya? Kau tahu Ji sangat mengkhawatirkanmu? Aku tahu kau pasti bosan kan selalu berada didalam rumah? Tapi jangan pergi tanpa pamit. Jika terjadi sesuatu padamu bagaimana? Boleh aku tahu kau tadi pergi kemana?” Kyu Hyun bertanya penuh kehati-hatian. Kujauhkan jarakku yang tadi memeluk Hwa Hyeon. Kuelus kepalanya dan menyunggingkan senyum. Dia menunduk. Tangannya memilin ujung mantel yang dikenakannya.

“Mi…an”, lirihnya. Satu kata singkat itu membuatku ingin kembali menangis. Walaupun hanya kata singkat itu setidaknya dia mau berbicara.

“Gwaenchanha”, kataku dengan suara bergetar. “Lain kali kita pergi keluar bersama hm? Kau suka taman hiburan?” Kembali kucoba mengajak bicara dirinya. Sungguh aku merindukan suaranya yang selalu rewel dan berisik jika kami sedang bercengkrama. Dan itu hanya kualami lima tahun yang lalu sebelum kejadian yang membuatku selalu mengutuk penyebabnya.

Hwa Hyeon mengangkat kepalanya. Matanya yang besar memandangku dalam. “Ada apa?” tanyaku menjawab tatapannya.

“A…aku”, ucapnya terputus. Suaranya tersendat seperti ragu untuk melanjutkan. Bicaralah Yuun. Aku ingin mendengar lebih banyak kalimat yang kau ucapkan.

“Daun maple?” Suara Kyu Hyun sontak membuatku mencari apa yang dikatakan pria disampingku ini. Digenggaman tangan kanan Hwa Hyeon ada selembar daun maple berwarna kemerahan. Ah, benar ini kan musim gugur. Dan hal-hal yang membuatku kembali mengingat kejadian yang paling kubenci seumur hidupku berputar lagi.

“Kau habis dari taman ya?” tebak Kyu Hyun. Hwa Hyeon hanya menganggukkan kepalanya. Taman? Aku belum pernah melihat ada taman dekat sini. Darimana Hwa Hyeon mengetahuinya?

“Waaah apa disana banyak pohon maple? Boleh kami ikut denganmu untuk melihatnya?” Aku tahu Kyu Hyun juga mencoba membuat Hwa Hyeon untuk banyak bicara. Tidak menjadi pembisu.

“N-ne”, cicitnya. Aku tersenyum. Kutuntun Hwa Hyeon untuk duduk disofa. Kyu Hyun mengikuti kami. Lalu mendudukan dirinya disamping Hwa Hyeon.

“Kurasa Kyu Hyun ingin berbicara denganmu lebih lama. Sepertinya dia tertarik dengan taman yang kau temukan. Iyakan Kyu?” Aku mendelik padanya. Dia tersenyum paham. Kyu Hyun memang selalu berhasil membuat Hwa Hyeon bersuara.

“Kau pasti lapar kan, Yuun? Aku akan mengambilkanmu makanan dulu ya? Bibi Hwang tadi memasak makanan kesukaanmu. Kyu jangan berbicara yang aneh pada Yuun”, gertakku pada Kyu Hyun yang membuatnya seketika mendengus.

“Iya Ji Sayang…” Dia menyahuti dengan nada dibuat-buat yang membuatku bergidik.

::: ::: :::

“Hyeong yakin dia akan berada disana? Apa mungkin dia penghuni danau disana?” Jeno mengungkapkan dugaan yang sama sepertiku saat pertama kali mendapati sosok itu. Ya, secara aku memang tak pernah melihatnya disekitar daerah ini.

“Yak! Memang dia selalu disana!” bentakku dengan kesal.

“Ya sudah jangan marah. Aku kan hanya memastikan.” Jeno menggerutu karena bentakanku padanya.

“Ah! Itu dia!” teriakku sambil menunjuk kearah seorang gadis yang berjalan menunduk. Rambutnya yang tergerai menutupi wajahnya.

“Sial! Kenapa dia tidak mengikat rambutnya sih”, umpatku menyalahi gadis itu.

“Kenapa Hyeong yang ribet? Itu kan urusannya. Aaw…” Kujitak kepala Jeno. Dia itu bahkan sangat bawel daripada Ibuku.

“Akan kulaporkan pada Bibi kalau Hyeong menyiksaku!” Ancamnya yang tak kuhiraukan.

“Kalau dilihat-lihat sepertinya tidak asing”, kupalingkan kepalaku kearah Jeno menuntut penjelasan darinya. Dia yang kutatap mengerutkan keningnya. Jangan pura-pura terlihat seperti orang bodoh.

“Baik, baik… Aku kan hanya bilang tak a-sing”, katanya mengeja kalimat terakhir dengan penekanan agar aku tak menanyakan lebih lanjut dan paham apa yang dimaksudnya.

“Cepat lakukan tugasmu”, perintahku yang dijawabnya dengan dengusan.

“Arasseo!” jawabnya keras seperti tentara yang diperintah komandannya.

Jeno pun pergi menghampiri gadis itu. Aku ingin tahu bagaimana reaksi gadis itu saat ada orang lain yang menghampirinya. Sudah dipastikan tak ada yang pernah menghampirinya yang duduk sendirian ditempat itu. Dan aku disini berdiri penuh kegusaran. Saat aku mengatakan pada Jeno masalah ini dia bilang untuk menghampirinya saja. Hanya sekedar untuk berkenalan tidak masalah. Pasti dia memahami. Katanya saat aku meminta saran. Tapi aku menolaknya dengan alasan paling konyol menurut Jeno, yaitu penguntit. Hei, aku kan hanya tidak sengaja selalu melihatnya disana. Apa itu disebut penguntit? Beruntungnya bocah ini mau kusuruh untuk menghampiri gadis itu walaupun aku harus mengeluarkan uang sebesar seratus ribu won. Benar-benar perampasan. Hanya masalah seperti ini aku harus mengeluarkan uang sebanyak itu. Kalau tahu begini lebih baik meminta bantuan Dong Hwa Hyeong.

Sekarang kulihat Jeno hanya tinggal beberapa langkah untuk berada dihadapan gadis itu. Langkahnya terlihat canggung. Dan bertepatan saat Jeno selangkah untuk menghadap gadis itu. Sosok itu pun menoleh. Bisa kutebak ekspresi Jeno terkejut. Apakah benar hantu? Tapi tadi kan kulihat dia berjalan. Namun seketika aku yang dibuat terkejut oleh Jeno. Dia menunduk pada gadis itu. Gadis itu pun membalas salam Jeno. Apa sepupuku itu terhipnotis oleh gadis itu? Sialnya Jeno tidak memperhatikan diriku. Dan dia asyik berbicara? Aku merasa mulutku saat ini terbuka lebar. Jadi kata tak asing bagi Jeno itu benar. Dia mengenal gadis itu? Saat pulang nanti aku akan mengintrogasinya. Dan akan kusiapkan pula mentalku untuk menerima semua permintaannya. Kurasa harganya akan lebih mahal dari dirinya yang kusuruh menemui gadis itu.

::: ::: :::

“Jadi apa yang akan kau laporkan padaku?” todongku padanya setelah duapuluh menit yang lalu kami sampai dirumah. Aku menahan diriku untuk tidak bertanya padanya selama diperjalanan.

“Tidak ada.” Dua kata dengan nada yang tak penting menurutnya mengalun begitu saja. Sabar Lee Dong Hae.

“Lalu untuk apa aku membayarmu?” masih dengan suara yang terkontrol aku bertanya lagi.

“Hyeong kan hanya menyuruhku untuk menghampirinya bukan bertanya padanya.” Mulutnya sangat fasih menyusun kalimat yang membuatku menggeram menahan untuk tidak menghantamnya dengan benda-benda yang berjejer dikamarnya.

“Setidaknya ada satu atau dua hal yang bisa kuketahui?” Sungguh aku seperti seorang pria yang merayu kekasihnya karena telat menepati janji. Menggelikan.

“Saat aku menghampirinya dia hanya tersenyum seperti bia- ups…” Mataku memicing padanya. Jeno mengedarkan pandangannya kearah lain.

“Seperti apa?” ulangku dengan nada yang membuatnya mengerut.

“Bu-bukan a-ap-apa ehehehe…” Kau lebih terlihat seperti bocah idiot, Lee Jeno!

“Oh, kalau begitu aku akan sampaikan hasil ulangan Sejarah Korea-mu pada orangtuamu hm? Kurasa mereka memang harus mengetahui nilai anaknya kan?” Cih, kau pikir hanya dirimu saja yang bisa mengancam. Keberuntungan sedang berpihak padaku setelah menemukan kertas ulangan miliknya yang sengaja disembunyikan diselipan rak bukunya. Senjata yang ampuh.

“Jangan Hyeong! Aku tidak mau nanti Ayah dan Ibu memasukanku dalam les pribadi pelajaran membosankan itu. Aku tidak mau!” Bolehkah aku tertawa terbahak. Tampang Jeno sangat lucu untuk ditertawakan saat ini.

“Baik. Tapi ceritakan dulu apa yang kau maksud tadi. Se-mu-a-nya!” tekanku agar dia tak bertele-tele dan memotong cerita.

“Iya iya iya tapi nanti malam saja Hyeong. Aku mau mandi. Memangnya Hyeong tidak ada kencan dengan gadis-gadis Hyeong?”

“Apa kau bilang?” Geramku dan dia sudah kabur ke kamar mandi. Sepertinya aku akan mengalahkan keriput yang tercetak diwajah Appa karena selalu berhadapan dengan Jeno membuat urat-uratku semakin mengendur.

::: ::: :::

“Ji-ya, kau belum tidur eoh?” Aku yang sudah berbaring sejak tadi dan hampir mau tidur mendudukan diriku ditepi ranjang. Ji menggelengkan kepalanya lemah. Kuhampiri dirinya yang sedang memandang langit malam melalui jendela kamar kami.

“Kenapa lagi hm?” Kupeluk dirinya dari belakang. Kutopangkan daguku pada bahunya. Pipinya sangat hangat. Aku selalu menyukai saat diriku memeluknya seperti ini.

“Kyu aku ingin Yuun kembali seperti dulu. Yuun yang selalu berisik dengan semua celotehannya. Aku bisa merasakan seberapa tertekannya dirinya selama ini. Melihat itu aku sangat sedih Kyu. Tak adakah orang yang dapat membuatnya kembali seperti dia sebelum mengalami kejadian itu?” Lirihnya yang sudah terisak. Ji sangat menyayangi Hwa Hyeon seperti adiknya sendiri. Saat pertama melihat mereka kupikir keduanya adalah anak kembar. Ternyata salah. Ikatan keluarga mereka adalah saudara sepupu. Walaupun begitu mereka terlihat baik bersama seperti adik dan kakak.

Kueratkan pelukanku dan mengecup keningnya dari samping. Menyalurkan perasaanku padanya agar dia sedikit tenang. Kepalanya mulai bersandar pada dadaku. Tangannya menggenggam lenganku yang melingkar dipinggangnya. Aku mengingat jelas seperti yang Ji Hyun katakan. Lima tahun lalu kejadian kelam itu dialami Hwa Hyeon. Pertunangan Hwa Hyeon dengan kekasihnya yang kalau tidak salah bernama Kim Ki Bum dibatalkan sepihak. Tepat dimalam acara tersebut Ki Bum tidak datang bersama keluarganya. Hanya secarik kertas yang datang mewakili mereka. Dikertas tersebut tulisan tangan Ki Bum tersusun kalimat yang membuat siapa saja yang membacanya ingin sekali menghajarnya. Hwa Hyeon yang menerima pertama hanya diam tak bereaksi apapun. Membuatku yang berada disisinya mengambil kertas itu dan membacanya. Tanganku bergetar. Kulirik Hwa Hyeon, dapat kulihat airmatanya dan amarah yang tertahan nampak begitu jelas. Tanpa mengatakan apapun dia melangkah pergi meninggalkan tempat ini. Kemudian Ayah Hwa Hyeon yang membaca kertas tersebut mendadak terserang penyakit jantung. Sedangkan Ibu Hwa Hyeon sudah menangis memeluk suaminya bersama Ji yang menenangkan. Mulai hari itu aku selalu menyumpahi dan mengutuki lelaki bernama Ki Bum tersebut. Lelaki brengsek yang seharusnya tak pernah masuk dalam kehidupan Hwa Hyeon.

“Kyu, apa Hwa Hyeon masih mempercayai tulisan disurat itu?” Pertanyaan Ji membuatku tersentak. Ingin menjawab tidak tapi kenyataannya terlihat jelas kalau Hwa Hyeon memang masih menunggu Ki Bum.

“Aku ingin Hwa Hyeon tidak menunggu pria brengsek itu Kyu. Ini sudah lima tahun, mana mungkin dia kembali?” Ji sudah tidak bisa lagi mengontrol emosinya. Selama lima tahun ini pula aku dan Ji selalu berusaha agar Hwa Hyeon melupakan janji bodoh yang dituliskan lelaki itu. Apa kau akan percaya disaat hari bahagiamu orang yang berjanji akan menjagamu ternyata tidak hadir dan pergi entah kemana. Lalu hanya meninggalkan secarik kertas bertuliskan ‘Aku mencintaimu. Maafkan aku tidak bisa datang hari ini. Ada hal yang harus aku lakukan. Itu sangat penting. Aku berjanji setelah itu terselesaikan aku akan kembali dan kita akan hidup bahagia. Kau akan menungguku kan?’. Dia pergi untuk alasan yang tidak jelas dan itu penting baginya? Apa pertunangannya itu bukan hal penting? Keluarga macam apa mereka. Tidak tahu apa efek dari hal itu. Paman Choi meninggal akibat serangan jantung. Setahun kemudian Bibi Choi jatuh sakit karena menderita penyakit paru-paru. Karena selama setahun setelah kejadian itu Hwa Hyeon berubah total membuat Bibi Choi selalu bersedih dibelakang melihat Putri tunggalnya selalu diam membisu tanpa mau menganggap kehadiran orang lain.

“Tenanglah Ji. Kau harus sabar. Aku juga akan membantumu hm? Aku sudah berjanji pada orangtua Hwa Hyeon untuk mengembalikan Choi Hwa Hyeon yang dulu kita miliki. Kau lihat kan Hwa Hyeon sudah mau berbicara walaupun tidak banyak? Dia bahkan sudah mau menunjukan ekspresi yang dirasakannya. Besok aku libur, bagaimana kalau mengajaknya jalan-jalan? Dia pasti akan senang.” Kuputar tubuh istriku menghadapku. Menghapus sisa airmata yang menempel dipipinya. Lalu mengecup keningnya.

Kutangkup wajahnya lalu berkata, “Sebaiknya kita tidur. Kau terlihat lelah.” Dia menganggukan kepalanya. Kemudian kucium bibirnya seperti yang biasa kulakukan kalau Ji sedang sedih.

::: ::: :::

“LEE JENO! BANGUN!” Suara menggelegar diminggu pagi membuat sang pemilik kamar mengumpati si pemilik suara tadi. Belum lagi suara gedoran pintu yang memang sengaja digedor dengan tidak karuan.

“DONG HAE HYEONG BERISIK! AKU SUDAH BANGUN!” Tak mau kalah berteriak dia menyahuti dengan suara yang lebih kencang.

“Omo! Apa mereka sedang berada dihutan? Berteriak seperti hanya ada mereka berdua saja disini.” Celoteh wanita yang sedang merapikan meja makan untuk menghidangkan sarapan bagi keluarganya.

“Setidaknya mereka tidak saling mengangkat senjata lalu melancarkan aksi tembak menembak kan, Sayang?” Suami dari wanita itu menyahuti dengan sedikit lelucon yang membuat sang istri mengangkat bahu memaklumi.

“Dong Hae juga terlalu berlebihan. Seharusnya dia membangunkan Jeno dengan baik-baik. Lagipula kenapa akhir-akhir ini mereka terlihat akur? Aku jadi curiga ada sesuatu dibalik semua ini?” Wanita itu mengeluarkan asumsinya.

“Mungkin anak kita sedang jatuh cinta kekeke…” Kekeh lelaki yang sedang membaca koran tersebut.

“Lalu menyuruh anak berumur limabelas tahun untuk menjadi perantara? Ck, kuno sekali caranya.” Istrinya bukan mendukung melainkan mencibir usaha anaknya.

“Jadi hari ini kita semua akan ke kafe?” sambut suara lain.

“Kuharap kedua anak itu benar-benar membantu.” Ucapan sang Ibu membuat anak sulungnya terkikik. Jika Jeno dan Dong Hae berada di kafe, mereka berdua lebih banyak berdebatnya daripada membantu para karyawan. Terlebih Jeno yang selalu merecoki dapur dengan segala keingintahuannya.

“Semoga…” Lalu terdengar suara berisik dari dua anak laki-laki yang menjadi objek pembicaraan mereka.

“Hyeong lepaskan rangkulanmu! Memangnya Hyeong tidak sadar kalau badan Hyeong itu seperti gajah.” Jeno kembali mengeluarkan cibirannya.

TAK

“YAK! Bibi… Dong Hae Hyeong memukul keningku!” adu Jeno.

“Kau memang pantas mendapatkannya. Lagipula sentilanku tidak akan membuat keningmu berubah bentuk.” Sahut Dong Hae membela diri.

“Sudah jangan ribut lagi. Lebih baik cepat sarapan. Kasihan para karyawan kafe sudah menunggu. Dan Eomma harap kalian tidak akan membuat kekacauan!” Ultimatum sang Ibu membuat mereka bergidik lalu menempati kursi masing-masing untuk memakan sarapan yang sudah dihidangkan dimeja dihadapan mereka.

::: ::: :::

“Yuun, tak masalah kan kalau aku mengikat rambutmu hm?” Ji bertanya terlebih dahulu sebelum tangannya menyentuh rambut Hwa Hyeon untuk dikuncirnya. Anggukan itu pun terlihat. Ji langsung mengambil sisir dan jepit rambut berbentuk pita. Mengambil setengah bagian rambut Hwa Hyeon untuk dijepitnya.

“Kau harus lebih sering menata rambutmu. Jangan selalu tergerai. Itu mengerikan jika dilihat. Kau tahu saat rambutmu seperti itu, kau seperti hantu Jepang. Sadako kekeke…” Ji terkekeh sendiri dengan ucapannya.

“Dan kau terlihat seperti Ibunya Sadako.” Suara Kyu Hyun membuat Ji menengok ke belakang. Bibirnya mengerucut tanda tidak terima dengan ucapan suaminya tadi.

“Kalau aku seperti Sadako kenapa kau menikahiku huh?” Ji tersulut candaan Kyu Hyun.

“Karena kau Sadako tercantik yang aku dapatkan”, gombal Kyu Hyun yang membuat Ji bersemu. Pasangan ini memang berbeda dalam hal menunjukan sisi romantis mereka.

Hwa Hyeon yang berada diantara mereka tersenyum dalam hatinya. Iri melihat betapa bahagianya sepupu dan temannya itu menjalin kehidupan bersama.

“Hei jangan membuat Hwa Hyeon sedih. Masa kau hanya menganggap aku Sadako tercantik tapi Hwa Heyon tidak. Kau ingin aku masakan sayuran setiap hari eoh?” Ji Hyun mengeluarkan jurus yang membuat Kyu Hyun malas untuk mengelaknya. Makan sayur setiap hari? Sehari saja sudah membuatnya ingin bolak-balik ke kamar mandi, apalagi setiap hari? Bobot badannya bisa menurun drastis tanpa melakukan program diet.

“Ya Hwa Hyeon kan memang menyeramkan saat ini hihihi. Ah, lebih baik kita pergi sekarang sebelum kesiangan.” Kyu Hyun menyudahi bincang-bincangnya sebelum diocehi istrinya lagi.

“Kajja, Yuun.” Ji Hyun menggamit lengan Hwa Hyeon untuk bangun dari tempatnya duduk. Hari ini seperti kesepakatan Kyu Hyun dan Ji semalam, mereka akan menikmati hari minggu ini untuk mengunjungi tempat-tempat wisata. Dimusim gugur waktu yang sangat indah untuk membuat kenangan bersama ditempat-tempat wisata. Tujuan lainnya adalah agar Hwa Hyeon bisa merasakan keindahan yang tak pernah mau dilihatnya lagi selama ini.

::: ::: :::

“Jadi selama ini dia tidak pernah bicara? Apa dia bisu?” Aku kembali menuntut penjelasan dari Jeno. Bagaimanapun bocah ini kan sudah pernah bertemu dengan gadis itu. Pasti dia tahu hal-hal lain. Selain tidak berbicara pastinya.

“Ck, Hyeong itu bawel banget sih! Aku tidak tahu kenapa dia tidak mau bicara. Aku juga tidak tahu dia bisu atau tidak. Kalau Hyeong ingin tahu kenapa tidak langsung temui dirinya!” Jeno menanggapi dengan suara yang sudah malas menanggapi setiap pertanyaanku. Nadanya juga penuh kekesalan.

“Aku kan hanya bertanya. Kenapa kau tersinggung sekali!” Lagi-lagi aku tersulut. Nampan yang kubawa ingin sekali ku tumpahi ke kepalanya. Mengingat ini sedang dikafe tak mungkin aku melakukan hal itu.

“Salahi Hyeong kenapa menggangguku terus dengan pertanyaan yang sama? Hyeong kan bisa menyimpulkannya sendiri! Kalau penasaran Hyeong hanya tinggal menemui Noona itu lalu bertanya semua hal yang ingin Hyeong ketahui! Hyeong itu kan pria dewasa! Masa bergantung dengan anak remaja sepertiku?” Astaga bocah ini kalau sudah tersinggung sangat menyeramkan bahasanya.

“Yak! Bocah! Aku bicara baik-baik kenapa kau tersulut!”

“Hyeong yang membuatku tersulut!”

“Aku tidak akan menyolot kalau kau juga bicara dengan nada rendah tidak meninggi seperti tadi!”

“Nah kenapa Hyeong juga meninggikan suara Hyeong!”

“Arght!” Segera ku berbalik.

“Akh!” pekik seseorang. Aish, bodoh! Kenapa aku tidak hati-hati. Nampan yang kubawa menumpahi pakaian orang yang kutabrak. Bersiaplah menerima ceramah dari Eomma.

“Maaf. Sungguh aku tidak sengaja. Mianhamnida…” kataku sambil membungkuk. Aku belum mengangkat kepalaku.

“Yuun-ah gawaenchanha?” suara wanita lain membuatku mengangkat kepalaku. Gadis didepanku ini sangat cantik. Tapi kenapa rautnya tidak menampakan mimik apapun.

“Noona!” Pekikan Jeno membuatku tersadar kalau aku terpesona oleh gadis ini. Sebentar, Noona? Apa mungkin dia…

“Kau mengenal sepupuku?” suara wanita yang berada disamping gadis itu membuatku semakin yakin kalau gadis ini adalah sosok yang sering berada dibangku dekat pohon mapel yang menghadap danau itu.

“Ya, aku pernah bertemu dengannya. Eh, aniya, maksudku menemuinya yang sedang duduk sendirian ditaman dekat danau dekat sini. Benarkan Noona?” Jeno mengatakan itu penuh kebanggaan dan keceriaan. Disisi lain aku merasa seperti disindir olehnya.

“Benarkah Yuun?” tanya wanita yang mengaku sepupunya itu. Jadi gadis itu bernama Yuun. Melodi. Hm, tapi dia terlihat seperti kehilangan melodinya. Suram sekali rautnya.

“Noona bajumu kotor, maafkan Hyeong-ku.” Bocah ini mencari muka. Aku kan sudah meminta maaf tadi. Untuk apa dia melakukannya lagi. Cih, kalau bukan dikafe, aku mungkin akan mengikatnya dipohon belakang rumah.

“Ah, tidak apa-apa. Oh, siapa namamu?” tanya wanita itu lagi.

“Ji-ya apa yang terjadi?” Sekarang muncul seorang pria yang tingginya melebihiku. Memanggil wanita disamping Yuun dengan nama Ji.

“Tidak apa-apa. Hanya insiden kecil”, jawabnya sambil tersenyum. Kuperhatikan Yuun yang tidak bersuara sejak tadi. Kuralat, tadi aku sempat mendengar pekikannya saat tak sengaja menabraknya sampai menumpahkan nampan berisi minuman ini ke pakaiannya. Berarti dia tidak bisu kan?

“Namaku Jeno, Noona.” Menyebalkan! Dia hanya memperkenalkan dirinya sendiri.

“Ah, Jeno. Kau blasteran Eropa ya? Sangat tampan.” Goda wanita bernama Ji itu. Tapi Jeno terlihat begitu kesenangan. Sungguh posisiku seperti manekin yang dipajang dilemari kaca toko pinggir jalan.

“Jadi kau mulai menyukai anak kecil, Ji?” Tak salah dengarkah aku? Pria itu cemburu dengan Jeno? Ingin sekali tertawa terbahak. Tapi tak jadi. Aku hanya mengulum senyum lalu tak sengaja bertemu pandang dengan Yuun. Mata itu nampak tidak bercahaya.

“Noona sudah memesan makanan?” tanya Jeno seperti dirinya pemilik kafe ini. Bagus. Kurasa warisanku akan jatuh padanya.

“Kami baru datang dan belum mendapatkan tempat. Apakah ada tempat lagi? Kulihat disini sudah penuh.” Wanita itu mengedarkan pandangannya mencari tempat yang kosong. Aku pun melakukan hal yang sama. Sepertinya sudah tidak ada tempat dibawah.

“Kurasa diatas masih ada tempat kosong. Apa anda mau disana?” tawarku pada mereka. Jeno mendengus. Salah sendiri dia berlaku seperti pemilik kafe ini.

“Baiklah tak masalah. Kau mau kan Yuun?” Kembali ku memandangnya. Dia menengok ke arah sepupunya itu lalu mengangguk.

“Ah benar aku akan persiapkan dulu. Yuun Noona suka pohon maple kan? Diatas ada pohon maple jadi nanti duduk disana saja. Aku mengecek dulu, memastikan tidak ada yang menempatinya. Oke?” Jeno bersemangat sekali. Aku jadi curiga kalau bocah ini secara diam-diam menyukai Yuun.

“Anak baik. Terimakasih.” Aku tidak salah dengar Ji mengatakan kalau Jeno baik? Dia hanya cari perhatian.

“Kalau begitu apa yang ingin kalian pesan? Sekali lagi aku minta maaf sudah mengotori pakaianmu, Y-yuun-ssi.” Lidahku kaku saat menyebut namanya. Haish, kenapa dia tidak bereaksi apapun sih.

“Tak apa-apa. Yuun sudah memaafkanmu, err… Maaf aku boleh tahu siapa namamu?” tanya Ji padaku. Tapi pria yang berada disampingnya menatapku tak senang. Jadi sekarang dia cemburu padaku, begitu? Kekanakan sekali.

“Lee Dong Hae. Panggil saja aku, Dong Hae atau Hae. Kafe ini milik keluargaku dan Jeno adalah sepupuku”, kataku untuk memperjelas status Jeno sebenarnya. Hahaha sekali saja membuat Jeno seperti ini tak apa-apa kan?

“Aah, jadi kafe ini milikmu ya? Kukira Jeno itu adikmu. Kalian terlihat sangat mirip hihihi…” Dia terkikik malu dengan pernyataannya yang salah duga antara hubungan aku dan Jeno. Dilihat dari sisi mana aku mirip dengan bocah tengil itu? Sepertinya Bibi Han meminta resep pada Eomma agar anaknya itu mirip denganku.

“Apa menu khas kafe ini?” Suara berat pria disampingnya membuatku kikuk. Tatapannya seperti ingin mengulitiku. Hei, aku kan tidak menggoda kedua wanita ini. Apalagi wanita bernama Ji itu, yang mungkin saja kekasihnya.

“Kimchi Quesadillas and Seoul Fries, bagaimana? Porsinya pas untuk kalian”, saranku pada mereka.

“Bagaimana, Kyu?” Ji bertanya pada pria itu. Oh, namanya Kyu. Seperti nama anak kecil. Pantas saja kelakuannya seperti tadi. Sekarang aku bisa memakluminya. Lagipula kalau diperhatikan umurnya itu dibawahku sekitar dua atau tiga tahun.

“Terserah kau saja. Yang penting Yuun juga menyukainya.” Ah, benar Yuun bahkan tidak mengeluarkan komentar.

“Yuun menyukai apapun asalkan tidak ada keju didalamnya. Kalau sedikit bisa kutoleri.” Gadis itu tidak terlalu menyukai keju. Sedikit kusunggingkan senyumku saat mata itu kembali melihatku. Cukup sedih karena dia tidak membalasnya. Apa dia tidak mempunyai ekspresi selain diam tak bermimik seperti itu.

“Ya sudah kalau memang tak masalah.” Pria itu tak berkomentar lebih. Sepertinya mereka sangat memperhatikan gadis ini. Beruntung sekali. Disaat dirinya hanya diam yang lain justru memikirkannya. Tak peduli apakah yang diucapkan mereka itu penting atau tidak.

“Noona! Tempatnya sudah siap!” Aish, Jeno benar-benar menggangu. Tidak bisakah dia mengontrol suaranya. Memangnya dia pikir ini hutan berteriak seenak mulutnya. Kuharap semua pengunjung tidak terusik.

“Kalau begitu kami ke atas. Bisakah pesanannya lebih cepat? Aku sudah kelaparan karena suamiku tidak berhasil menemukan tempat makan yang kosong. Apakah hari minggu selalu ramai? Beruntung sekali menemukan kafemu, Dong Hae-ssi.” Aku hanya tersenyum mendengar celotehannya. Oh, jadi Kyu itu suaminya pantas terlihat kalau dia sangat menjaga istrinya tersebut.

“Baiklah aku akan segera antarkan. Silakan menikmati suasana kafe kami”, kataku seperti biasa saat orang-orang yang kukenal mengunjungi kafe ini. Begitu pula pada pengunjung lain.

::: ::: :::

Jadi kafe ini miliknya. Pria yang selalu bersembunyi diantara pohon poplar dan beech. Ini kali pertama aku melihatnya, secara jelas. Ya, apa yang dikatakan Ji benar. Dong Hae mirip sekali dengan Jeno. Jeno adalah orang pertama yang berani menghampiriku. Padahal orang pertama yang kulihat adalah Dong Hae. Jeno menemuiku kalau dia sedang tidak dijemput oleh Kakaknya. Apakah itu Dong Hae? Tapi kurasa bukan. Mengingat hampir diwaktu bersamaan aku selalu merasakan kehadirannya. Jeno selalu menemaniku menikmati musim gugur selama dua tahun ini. Ya, lima tahun yang lalu Ji dan Kyu Hyun memutuskan untuk pindah ke Mokpo. Karena Ji bilang aku lebih baik merasakan suasana baru. Tidak didekat perkotaan. Namun daerah yang masih seperti pedesaan. Dan lima tahun sampai sekarang aku berada disini. Mokpo. Aku tahu tujuan utama Ji dan Kyu Hyun adalah agar aku melupakan Ki Bum. Namun sampai hari ini pun aku masih menunggu kepastian lelaki itu. Aku ingin menunggunya. Mendengar semua alasannya. Tapi sampai saat ini dia tidak menampakkan dirinya. Teleponku pun tak pernah dihiraukannya. Apa ada yang salah?

Kuperhatikan kafe ini. Sangat alami. Apalagi dengan beratap pohon maple sedang yang sengaja ditanam diatas sini. Jeno sangat baik. Walaupun aku tidak pernah menggubris segala omongannya, dia tidak peduli. Dia akan selalu bercerita sampai cerita itu berakhir. Selama dua tahun, aku hanya bertemu Jeno limabelas kali. Dan pertemuan kelimabelas adalah saat kemarin. Saat dia bilang padaku kalau Kakaknya memaksa agar dirinya menemuiku. Dia menceritakan semua yang disuruh Dong Hae padanya. Sungguh hal itu membuatku tergelitik namun enggan tertawa. Padahal Jeno sudah heboh dengan celotehannya sendiri. Aku heran, memangnya dia sejak awal tak pernah memberitahu Dong Hae? Tak pernah memberitahu kalau dirinya hampir selalu menemuiku?

Mereka berdua datang membawa nampan berisi pesanan kami. Jeno mengembangkan senyumnya. Anak itu memang sangat manis. Saat bersamanya selama dua tahun melewati musim gugur di Mokpo, aku selalu terhibur. Merasakan kalau masih ada orang yang menghargaiku walaupun aku menutup diri untuk tidak terlalu terbuka bahkan dekat dengan siapapun. Apakah aku terlalu kejam? Aku selalu menyalahi diriku. Namun tak punya pilihan lain selain melakukan hal ini. Lagian tak ada pula orang yang merasa risih aku seperti ini. Meskipun kulihat Ji Hyun sudah sangat lelah dengan usahanya membuatku kembali seperti sebelum lima tahun ini.

“Yuun Noona ini pesanan khusus untukmu. Aku yang menyiapkannya sendiri loh. Ya walaupun sebenarnya koki dikafe ini yang buat hehehe…” Aigoo anak ini terlalu banyak ekspresi. Kudengar desisan Dong Hae. Terlihat sekali kalau dia tidak suka. Atau seperti yang Jeno katakan padaku kalau Dong Hae selalu mencoba bersaing dengannya? Tidakkah terdengar lucu kalau Dong Hae tidak mau kalah dengan anak yang masih ditingkat akhir Junior High School?

“Wooow, aku sangat iri Yuun mendapatkan perlakuan khusus dari anak tampan ini.” Ji mencoba memancingku. Berhentilah Ji. Itu hanya akan membuatmu lelah.

“Kalau Ji Noona mau bisa meminta pada pria itu.” Jeno menggedikan dagunya ke arah Kyu Hyun. Kyu Hyun menyeringai atas ulah Jeno yang mungkin tak sopan baginya. Tapi Kyu Hyun tak sampai akan menyiksa anak dibawah umur yang bukan tandingannya.

“Ah, dia tidak bisa memasak. Aku pernah hampir keracunan bersama Yuun karena dipaksa olehnya mencoba masakan hasil buatannya untuk pertama kali.” Kyu Hyun berdecak. Mungkin dia tak habis pikir kalau Ji Hyun akan membongkar kejelekannya.

“Hei garis bawahi. Per-ta-ma ka-li. Jadi wajar saja hasilnya seperti itu. Lagian kan bocah ini pun bukan masak sendiri tapi dimasakan koki.” Setelah ini akan terdengar bangga-membanggakan diri serta pembelaan. Aku yakin itu.

“Err… Kurasa lebih baik kalian menikmati hidangannya sebelum dingin. Dan maafkan atas ketidaksopanan Jeno pada anda, Kyu-ssi.” Dong Hae langsung meletakan makanan yang kami pesan ke hadapan Kyu Hyun dan Ji Hyun. Karena punyaku memang dibawa oleh Jeno. Seperti katanya yang hanya dikhususkan untukku.

Mereka berdua pun pamit. Namun sebelum benar-benar menjauh Jeno berteriak padaku, “Noona aku akan membawakan eskrim untukmu.” Dan Dong Hae langsung menarik tangannya tanpa mau menghiraukan ocehan anak itu yang sudah mengumpatinya dengan kesal.

“Kenapa anak itu berisik sekali sih!” cecar Kyu Hyun. Lalu memasukan makanannya kedalam mulut.

::: ::: :::

“Yak Jeno! Kau harusnya bersikap sopan pada orang lain. Kau tidak lihat wajah pria yang bernama Kyu itu hampir ingin mencekikmu heh?” Kesabaranku sudah habis untuk bersikap lembut padanya. Beruntung Ji tadi menimpali juga.

“Aish, Hyeong kenapa repot sekali sih? Aku kan hanya berbicara sesuai keadaan. Kalaupun dia mencekiku yang masuk penjara dirinya bukan Hyeong!” Ya Tuhan, aku juga ingin mencekik bocah ini. Tapi aku ingat akan dosa. Kuelus dadaku menahan amarah yang memang sudah hampir meledak sejak tadi.

“Hyeong tolong belikan eskrim coklat untuk Yuun Noona. Aku sedang sibuk. Oh, uangnya pinjam uang Hyeong dulu nanti kuganti.”

“YAK! Kau pikir aku pesuruhmu! Beli saja sendiri! Aku juga sedang sibuk! Kan kau sendiri yang bilang mau membelikannya. Kenapa menyuruhku!”

“Hei hei hei… Ada apa dengan kalian? Dong Hae-ya pelankan suaramu. Kau bisa membuat para pengunjung terusik.” Tiba-tiba Dong Hwa Hyeong muncul melerai kami. Dan menyuruhku untuk tidak berisik.

“Harusnya Hyeong menyuruh Jeno juga untuk menjaga mulutnya”, kutimpali omongan Kakakku tadi. Enak saja hanya aku yang disalahkan. Lama-lama diruangan ini aku bisa darah tinggi. Kuputuskan untuk keluar saja. Kurasa Dong Hwa Hyeong juga ingin berada diruangan ini. Dan bocah itu juga tidak ada niat untuk keluar karena fokus dengan komik yang sedang dipandanginya. Dalam kondisi seperti itu dia bilang sibuk? Lalu kalau aku sedang menulis daftar pesanan harus menyebutnya apa? Kuambil mantelku yang bertengger disandaran sofa.

“Ingat ya Hyeong eskrim coklat.” Suara Jeno kembali terdengar.

“Siapa pula yang mau beli eskrim!” kataku lantang lalu buru-buru keluar saat Dong Hwa Hyeong memelototiku.

::: ::: :::

Oktober sudah memasuki pertengahan bulan. Udara musim gugur semakin dingin. Semua orang pun memakai pakaian semakin tebal. Suasana musim dingin sudah mulai terasa. Tapi daun-daun masih banyak terlihat dirantingnya. Baru sebagian yang rontok.

Cuaca hari ini cukup cerah. Dong Hae memilih untuk mengitari daerah ini dengan bersepeda seperti yang dilakukannya kalau sedang malas ke kafe. Sebuah kamera tergantung dilehernya. Ya, dia memiliki hobi memotret. Jika sedang bosan dia akan memilih opsi ini untuk mengisi kebosanannya. Kayuhan kaki dipedal sepedanya terhenti. Sosok itu kembali dilihatnya. Yuun yang duduk sendiri dibangku yang berpayung pohon maple. Kali ini Dong Hae memberanikan dirinya untuk menghampiri gadis itu. Setidaknya mereka sudah pernah bertemu. Jadi tidak perlu ragu lagi untuk lebih mendekati gadis itu. Dikayuh sepedanya menuju tempat Hwa Hyeon berada.

Setelah sampai dibelakang bangku gadis itu, Dong Hae menidurkan sepedanya perlahan. Dengan langkah canggung lelaki itu menghampiri Hwa Hyeon. Tapi Hwa Hyeon tidak menyadarinya. Sedikit lagi sampai untuk lebih dekat dengan posisi Hwa Hyeon, Dong Hae menghentikan langkahnya. Dan suara gadis itu pun terdengar. Suara yang Dong Hae sangat nantikan. Tapi dia menyesal mendengarnya. Karena suara itu penuh kepiluan yang membuat telinganya tak ingin mendengar sama sekali.

“Sudah pertengahan musim gugur dibulan Oktober. Kau masih belum mau datang? Haruskah aku menunggu lima tahun lagi?” Hwa Hyeon menarik napasnya. Menghirup oksigen sebanyak yang ia bisa. Paru-parunya terlalu sesak. Seperti menyusut. Matanya masih terpejam. Membiarkan angin menamparnya. Ujung syalnya terbang. Bergoyang oleh ulah angin. Dong Hae memperhatikannya dengan diam. Syal yang dikenakannya pun bergoyang tertiup angin yang berhembus lumayan kencang. Mau hujankah? Batinnya. Kepalanya terangkat memperhatikan cuaca. Langit memang cerah namun awan kelabu tipis mulai melebar. Prediksinya sepertinya tepat.

“Aku lelah.” Suara itu mengembalikan fokus Dong Hae.

“Aku lelah. Dan keadaan yang memaksaku melakukan ini. Aku ingin tertawa saat orang lain menghiburku tapi bibirku enggan untuk tertarik. Aku ingin mengeluarkan airmataku saat orang lain mengatakan begitu mengkhawatirkanku namun air itu hanya mampu menggenangi bola mataku tanpa mau mengalir. Kehidupanku seperti tidak berguna lagi. Aku hanya menyusahkan Ji Hyun dan Kyu Hyun. Membuatnya selalu menangisiku tapi aku tak membalas apapun. Aku ingin berkata banyak tapi pita suaraku tiba-tiba seperti terikat. Tak bisakah…” Hwa Hyeon berhenti berkata. Napasnya terlihat berderu karena menahan isakan. Gadis itu sudah mengeluarkan segala emosinya namun hal yang diinginkannya tak bisa dia lakukan. Tangannya mengepal erat mantel yang dikenakannya.

Dong Hae tidak tahu harus bagaimana. Dia mengutuki dirinya sendiri yang ingin mengetahui tentang gadis itu. Setelah tahu dia bahkan ingin lupa ingatan. Terlalu mengiris perasaannya. Bahkan matanya sudah memerah. Gadis itu yang ingin menangis tapi dirinyalah yang melakukan itu.

Hwa Hyeon sudah bisa mengendalikan dirinya. Matanya terbuka. Saat dia bangun dan ingin beranjak dari tempat itu tubuhnya mematung. Sosok yang sudah pernah dilihatnya itu berdiri dengan ekspresi yang tidak dia ketahui. Sedangkan ekspresi yang nampak pada dirinya adalah kekagetan. Dong Hae pun terlihat kaget saat mereka saling bertatapan. Bisa disimpulkan gadis itu kalau Dong Hae sudah mendengar semuanya. Hwa Hyeon tak menghiraukan Dong Hae. Dia melangkah begitu saja meninggalkan lelaki itu.

“Kenapa kau tidak menangis? Kenapa kau tidak berteriak?” Dua kalimat itu menghentikan langkahnya. Tapi tidak berniat untuk menyahuti apa yang ditanyakan Dong Hae. Tangannya bergetar. Jantungnya berdegup. Ketakutannya adalah ini. Saat orang lain mengetahui apa yang sebenarnya dia ingin lakukan namun tak sanggup. Dirasakannya ada air yang menetes diatas kepalanya. Kelamaan air itu semakin menetes banyak. Gerimis. Perasaannya seperti diwakilkan. Lalu tiba-tiba sebuah tangan menariknya.

“Cepat naik. Hujan akan turun.” Suara rendah penuh perintah itu membuatnya tak bisa menyahut. Dan inilah kali pertama Hwa Hyeon diajak bicara oleh Lee Dong Hae. Tubuhnya masih bergeming. Tak bereaksi apapun. Berucap pun tidak.

“Kalau kau ingin jatuh sakit ya sudah. Aah… Aku salah, lebih tepatnya memang kau sudah sakit. Apa kau mau menambah sakit yang kau alami?” Ucapan Dong Hae seperti tombak yang dihunuskan kearah jantungnya. Tubuh Hwa Hyeon meremang mendapat kalimat tajam itu. Tak pernah ada yang berkata seperti itu padanya. Dan orang yang baru dikenalnya berani mengatakan hal itu. Sungguh dia ingin berlari.

Gerimis yang tadi kecil semakin meneteskan rintikan yang lebih banyak. Tanpa menunggu persetujuan Hwa Hyeon, lelaki itu menarik paksa tubuh gadis yang tak bergeming itu untuk duduk didepannya.

“Aku yakin kau tak mau bicara. Jadi aku bawa kau ke kafeku saja. Karena aku tidak tahu dimana rumahmu.” Setelah mengatakan itu Dong Hae mengayuh sepedanya dengan sangat cepat. Pakaian mereka sudah basah. Karena gerimis telah berganti hujan. Jika Hwa Hyeon tidak mengulur waktu mungkin mereka tidak akan basah kuyup seperti ini.

Sesampainya didepan kafe, Dong Hae segera menjatuhkan sepedanya begitu saja dan langsung menarik Hwa Hyeon memasuki kafe. Tubuhnya sudah menggigil. Dia tahu gadis itu pun merasakan hal yang sama tapi percuma saja bertanya karena tak akan mendapat tanggapan. Ibu Dong Hae yang melihat putranya masuk langsung berangsur mendekati.

“Omo! Kenapa kalian hujan-hujanan?” Sang Ibu menuduh begitu saja.

“Aish Eomma, memangnya aku bodoh hujan-hujanan dimusim gugur? Aku sudah tidak tahan menahan dingin ini. Dan Eomma ajak gadis ini untuk berganti pakaian. Berikan saja pakaianku atau kalau Eomma punya pinjamkan saja.” Dong Hae langsung berlari ke arah ruangannya meninggalkan Hwa Hyeon bersama Ibunya.

“Aigoo, kajja kau harus ganti pakaian. Kuharap ada pakaianku yang pas untukmu. Kau bisa mati kedinginan. Bagaimana bisa kalian hujan-hujanan eoh? Apa Dong Hae yang mengajakmu? Anak itu tidak tahu diri sekali mengajak seorang gadis hujan-hujanan dipenghujung musim gugur. Apa otaknya konslet!” Nyonya Lee mengomel-ngomel memarahi anaknya. Padahal tadi Dong Hae sudah menjelaskan kalau mereka tidak hujan-hujanan.

Hwa Hyeon yang mendengar ocehan Ibu Dong Hae hanya diam saja. Menurut saat wanita berumur empatpuluh lima tahun itu menyodorkan satu pasang kaos lengan panjang dengan celananya untuk dipakai gadis itu.

“Cepat ganti. Kamar mandinya ada dipojok sana. Aku harus keluar karena harus membantu pegawaiku didapur. Tak apa kan Bibi meninggalkanmu sendiri? Nanti akan Bibi beritahu Dong Hae kalau kau sedang berganti pakaian.” Hwa Hyeong hanya mengangguk. Wanita itu tersenyum lalu melangkah keluar dari ruangan ini.

“Terimakasih.” Ucapnya pelan setelah sosok wanita yang mungkin seumuran dengan Ibunya – jika Ibunya masih ada, menghilang dibalik pintu ruangan ini.

::: ::: :::

“Dong Hae Hyeong! Tadi Ryeo Wook Hyeong bilang Hyeong membawa perempuan kesini. Apa benar?” Aku yang sedang memakai kaos langsung memasukannya cepat. Kenapa disaat seperti ini Jeno muncul sih. Dan kenapa Kim Ryeo Wook malah memberitahunya.

“Hyeong membawa pacar Hyeong?” Berisik sekali.

“Yak! Dong Hae Hyeong aku sedang bertanya!” suaranya melengking diruangan ini. Gendang telingaku bisa pecah kalau begini setiap hari.

“Bukan. Dia bukan kekasihku! Aku hanya mengajaknya kesini karena tadi dia kehujanan”, kataku dengan penjelasan setengah benar dan salah.

“Oh. Memangnya siapa?”

Tok Tok Tok

Suara pintu ruangan ini terketuk. Kalau ini bisa dibilang para pegawai atau tamu. Aku segera melangkah untuk membuka pintu. Karena kalau keluargaku pasti sudah menerobos masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

“YUUN NOONA?” Jerit Jeno tidak percaya dengan sosok yang dilihatnya. Jeno menatapku garang. Hei, dia mau memarahiku karena tidak memberitahunya kalau yang aku ajak Yuun? Memangnya aku salah? Tidak kan?

Yuun yang mendengar namanya diteriakan begitu lantang sampai berjengit kaget. Jeno memang menakutkan kalau sudah berteriak. Dan Yuun hanya menganggukan kepalanya seperti biasa.

“Masuklah”, ucapku mempersilahkannya memasuki ruangan ini. Jeno langsung berlari ke arahnya. Dan menarik tangan Yuun untuk mengikutinya duduk disofa. Cih, kau tidak cocok bergaya seperti itu Lee Jeno.

Kemudian aku pun ikut mendudukan diriku disofa. Kuperhatikan Yuun dengan hati-hati. Dia terlihat tidak nyaman. Apa karena Jeno? Tapi kurasa tidak, karena bocah itu asyik memberitahukan semua koleksi komiknya. Yang kuyakin Yuun tidak tertarik sama sekali. Dan matanya bertemu pandang denganku. Adakah yang salah? Dia terlihat begitu gelisah. Atau jangan-jangan…

“Jeno bantu Hyeong mengantarkan pesan- oh, dia siapa?” Dong Hwa Hyeong yang melihat Yuun terlihat kaget. Dan dia menatapku menuntut penjelasan.

“Hyeong pasti sudah tahu dari Jeno jadi tidak usah kujelaskan lagi kan?” tuturku malas untuk menjelaskan bagaimana bisa kau membawa gadis ini kesini. Berdasarkan rautnya yang begitu menuntut penjelasan lebih.

“Oh baiklah. Jeno cepat bantu Hyeong diluar”, perintah Dong Hwa Hyeong.

“Suruh Dong Hae Hyeong saja. Aku sedang menemani Yuun Noona”, tolaknya lalu menyuruhku. Saking kesalnya kulempar dia pakai bantal sofa yang membuatnya memekik menahan jeritannya.

“Hyeong memintamu bukan Dong Hae.” Kali ini aku berterimakasih pada Dong Hwa Hyeong yang membelaku. Dan membuat Jeno menggerutu karena penolakannya tidak diterima. Langkah gontai Jeno membuatku ingin menertawainya yang kali ini kalah mendapatkan pembelaan.

Dong Hwa Hyeong dan Jeno sudah menghilang dari ruangan ini. Yuun terlihat tidak nyaman. Karena dia sejak tadi meremas ujung bajunya.

“Kau kenapa?” tanyaku yang sudah tidak tahan melihat kelakuannya sejak tadi. Dia menoleh menatapku. Lalu menunduk lagi. Haish, gadis ini susah ditebak.

“Jika kau takut aku membocorkan hal yang tadi pada Ji Hyun dan Kyu Hyun. Tenang saja aku tidak akan melakukannya. Itu urusanmu.” Memang benar kan aku tidak punya hak untuk membocorkan hal itu pada keluarganya. Tapi bagaimanapun dia harus berubah. Kalau dia tak menghentikannya itu hanya akan menyakiti mereka dan juga dirinya sendiri.

“Aku tidak menyangka kalau selama lima tahun kau selalu berdiam ditempat itu disetiap musim gugur hanya karena hal yang kau katakan tadi?” Dia kembali mengangkat kepalanya. Memandangku.

“Jika seseorang yang kau tunggu tapi tak pernah datang. Untuk apa kau bertahan untuk menantinya? Bukankah kau bisa melakukan hal lain selama menunggu kedatangannya untuk menepati janjinya? Kau menyakiti dirimu sendiri hanya untuk orang yang tak kau ketahui kabarnya itu adalah tindakan terkonyol yang kutahu. Dan kau membalas orang-orang yang selama berada disisimu dengan kelakuan bodohmu ini? Kau bilang kau lelah dan ingin berhenti. Kau bisa melakukannya tapi selalu enggan karena kau ingat kembali siapa orang yang kau tunggu itu. Bisa kutebak orang itu pasti sudah menyakitimu kan? Tapi karena ucapan janjinya itulah yang membuatmu seperti ini? Aku kasihan padamu.” Mata Yuun kulihat berkaca-kaca. Astaga aku terlalu emosi. Tak seharusnya berkata seperti itu padanya.

“Yuun a-aku minta maaf. Sungguh aku tidak bermaksud mengurusi urusanmu.” Rasa bersalah merayapiku.

Dia bangun dan membungkuk lalu melangkah begitu saja. Aku segera mengejarnya. Sebelum dia menggapai knop pintu kutarik tangannya. Dia terdiam. Aku tidak suka dia yang diam semenjak kudengar dia bersuara. Sekarang aku ingin mengetahui suara yang belum dikeluarkannya. Meskipun itu terdengar pedih dan memilukan aku akan menyanggupinya.

“Maaf jika membuatmu tersinggung.” Dia menarik tangannya yang masih enggan aku lepas. Tangan kirinya yang bebas membantu untuk melepaskan tangan kanannya. Rasa tak rela untuk melepasnya menjalari perasaanku. Dia menghentakan tangannya dan mau tak mau aku melepaskannya. Suara knop pintu yang diputar membuatku merutuki ucapanku sebelumnya. Lee Dong Hae bodoh.

::: ::: :::

“Hwa Hyeon-ah bagaimana kalau hari ini kita makan dikafe Jeno?” Aku merasa akhir-akhir ini Hwa Hyeon semakin pendiam. Biasanya dia menimpali pertanyaanku. Tapi semenjak seminggu yang lalu dia tidak menunjukan ekspresinya.

“Ck, kenapa harus makan disana lagi sih?” Suamiku itu memang sensitif setelah merasakan makan disana.

“Sepertinya aku sangat ketagihan dengan masakan dikafe itu Kyu”, rajukku padanya. Namun dia mendengus.

“Shh, bilang saja kau mau melihat Tong Hae? Tokek? Atau apalah namanya.” Ya ampun dia cemburu sama Dong Hae?

“Dong Hae, Kyu Hyun Sayang…” ucapku merayunya.

“Terserahlah!” putusnya lalu fokus pada acara ditelevisi. Menjengkelkan saat kau memiliki suami yang kadar cemburunya ditingkat akut. Kubicara dengan Jeno salah. Hanya menyahuti ucapan Lee Dong Hae juga salah.

“Bagaimana kalau kita makan berdua saja Yuun?” Kuputuskan mengajak Hwa Hyeon saja kalau memang Kyu Hyun tidak mau ikut.

“Jadi kau akan membiarkan suamimu ini terlantar dan kelaparan dirumah sendirian? Begitu?” sungutnya seperti anak kecil yang tak boleh ikut Ibunya belanja ke supermarket.

“Aish, bukannya kau sendiri yang bilang tidak mau makan disana? Sekarang kau menuduhku menelantarkanmu? Menyebalkan sekali…” Kupukul bahunya. Dia meringis. Salahkan saja dirinya sendiri yang membuatku melakukan hal tadi.

“Oke oke oke kita makan disana. Cepat bersiap-siap. Dan tak usah pecicilan dengan berdandan untuk menarik perhatian bocah bernama Jenong itu.”

“Jeno, Sayang. Bukan Jenong”, sambarku dengan sabar.

“Telingaku mendengarnya Jenong jadi tak usah membenarkan.” Aku memutar bola mataku malas. Bisakah dia bersikap dewasa saat berhadapan dengan anak remaja seperti Jeno? Bagaimana kalau nanti kami punya anak? Apa dia akan menyuruh anaknya untuk tidak dekat-dekat denganku?

::: ::: :::

Kami bertiga sudah sampai dikafe milik Dong Hae. Suasananya tidak terlalu ramai. Kurasa Jeno tidak ada. Sepertinya masih disekolah. Dan sosok yang selama seminggu ini tak ingin kulihat menampakan dirinya. Dia cukup tersentak saat melihat kami, mungkin lebih tepatnya adalah diriku. Lalu berjalan menghampiri kami.

“Kalian datang. Mau didekat pohon maple lagi?” Aku tahu pertanyaan itu diajukannya untuk diriku. Walaupun matanya mengarah pada Ji Hyun.

Bruk

“Ah, maaf aku tidak melihat”, kata seseorang yang tak sengaja menubruk bahuku tadi. Suara itu tidak asing. Kutolehkan kepalaku. Dan waktu seolah membawaku ke lima tahun yang lalu. Wajah itu berada dipantulan bola mataku. Aku tidak salah lihat kan? Dan sosok itu pun terdiam memandangku.

“Gwaenchanha?” Suara Dong Hae menyadarkan diriku. Aku hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandanganku.

“Kim Ki Bum!” Kupejamkan mataku saat Kyu Hyun menyuarakan nama itu. Tubuhku bergetar. Dan Ji kini menarikku menjauhi lelaki itu.

“E-ehm, Ne. Lama tidak berjumpa. Hei Hwa Hyeon-ah bagaimana kabarmu?” Bukan. Bukan pertanyaan itu yang aku ingin dengar.

“Apa menurutmu kabarnya akan baik-baik saja setelah apa yang kau lakukan?” Cukup Kyu Hyun. Aku tidak sanggup untuk mendengar semua yang ingin kau katakan padanya.

“Lalu aku harus bertanya apa? Kulihat dia sehat-sehat saja. Iya kan Hwa Hyeon-ah?” Dan aku tak mau mendengar bibirnya mencetuskan namaku dengan panggilan akrab itu. Sehat? Secara fisik memang aku sehat. Tapi kau lihat batinku, Kim Ki Bum! Ingin rasanya aku meneriakan kalimat itu tapi tenggorokanku seperti disekat oleh benang.

“Chagi-ya apa kau sudah menemukan tempat hm? Kenapa masih berdiri disini? Apa tempatnya sudah penuh? Maaf menunggumu terlalu lama kau tahu anakmu ini rewel sekali ingin membeli mainan ditoko sana.” Seperti ada sebuah meriam yang ditembakkan padaku. Pernyataan wanita yang sedang menggendong anak berumur sekitar lima tahun itu membuatku seperti gadis bodoh yang pernah Dong Hae bilang padaku.

“Kau mengenal mereka, Yeobo?” Aku sudah tidak tahan mendengar sapaan yang selalu aku impikan itu. Ji Hyun memegangiku sangat erat.

“Suamimu sangat mengenal kami Nyonya Kim.” Emosi Kyu Hyun terlihat saat dia memanggil ‘istri’. Ya, memanggil istri Ki Bum dengan nama marga yang disandang suaminya itu. Otot-otot kakiku sudah lemas. Aku sudah tidak sanggup menopang tubuhku lagi. Tolong hentikan!

“Benarkah Yeobo?” Ki Bum masih memperhatikanku tanpa menjawab pertanyaan istrinya.

“Ya.” Jawabnya singkat lalu tersenyum kecil saat sang istri tersenyum padanya.

“Sepertinya aku tidak melihat kalian diacara pernikahan kami? Atau aku yang memang tidak memperhatikan? Kalau begitu perkenalkan namaku Yoon Ha Young. Istri dari Kim Ki Bum dan ini anak pertama kami namanya Kim Young Gi.” Wanita itu menyodorkan tangannya kehadapan Kyu Hyun. Dan disambut Kyu Hyun dengan malas. Ji Hyun bahkan ragu untuk mengulurkan tangannya namun tetap ia lakukan. Kemudian tangan itu tersodor dihadapanku. Ki Bum masih memperhatikan gerak gerikku. Tanpa memikirkan konsekuensinya nanti, aku menepis uluran tangan itu. Lalu berjalan menghadap tepat didepan Ki Bum yang masih kaget dengan apa yang kulakukan terhadap istrinya tadi.

PLAK

“K-kau… Brengsek!” Setelah menamparnya dan mengatakan kalimat yang memang patut disandangkannya aku berlari menerobos celah diantara dirinya dan istrinya. Hari ini airmataku berhasil mengalir. Mengalir begitu deras tanpa mau berhenti. Aku masih mendengar Ji yang meneriaki namaku. Sungguh aku tidak mau mereka melihatku yang saat ini menangis karena kebodohanku sendiri.

“HWA HYEON AWAS!”

BRUK

Tubuhku kurasakan berguling-guling setelah dihantam sesuatu. Wajahku basah dengan bau anyir. Dan terakhir, aku hanya mendengar suara Dong Hae yang berteriak tidak jelas. Semua hitam. Pekat. Dan kelam.

::: THE END :::

Tinggalkan komentar